Biografi Singkat.
Hans Georg Gadamer lahir di kota
Marburg, Jerman pada 11 Februari 1900. Ia anak dari seorang ahli kimia farmasi,
seorang Privatdozent di Universitas Marburg, bernama Dr. Johannes
Gadamer (1867–1928) pernah diminta untuk menjadi profesor luar biasa di
universitas Breslau, yang memiliki sikap tegas, keras dan penuh disiplin dalam
setiap keadaan dengan berkarakter budaya Prusia. dan ibunya bernama Emma
Caroline Johanna Gewiese (1869–1904) seorang ibu rumah tangga penganut
Protestan yang taat dan konservatif, yang berhati lembut dan memiliki sikap
yang penuh puitis. Walaupun dibesarkan dalam keluarga akademisi dan Protestan
yang taat, Gadamer memilih mundur atau bungkam jika ditanyakan mengenai
imannya.
( http://hendar2006.multiply.com/journal)
Ayahnya, Johanes Gadamer, yang memiliki sikap disiplin
yang kuat dan sebagai seorang akademisi terpandang, menginginkan anaknya untuk
melanjutkan perjalanan akademisinya sebagai ilmuwan eksak. Namun, Gadamer
Yunior lebih tertarik pada kajian ilmu-ilmu humaniora, khususnya sastra dan
filologi. Tentunya keinginan Johanes Gadamer sangat bertolak belakang dengan
kemauan Gadamer yunior. Namun, keinginan Gadamer yunior untuk menekuni ilmu-ilmu humaniora akhirnya dapat terwujud.
Masuknya Gadamer ke dalam ilmu Non eksak, membuat
Johannes mencemaskan nasib dan masa depan anaknya. Tidak ingin berlarut dalam
kecemasan, Johanes mendatangi Martin Heiddeiger, rekan sejawat profesor di kampus yang sama dan sedang naik daun ketika
itu dengan sebuah karyanya yang monumental yaitu Being and Time, perihal
nasib dan masa depan anaknya. Dengan ringan dan santai, Heidegger
menjawab,”Kenapa anda harus cemas, saya yakin anak anda akan sukses. Lagi pula,
dia setahun lagi akan tamat “. Meski dijawab seperti itu, tidak membuat
Johannes lega akan masa depan anaknya, justru ia semakin diliputi dengan
keraguan yang sangat dalam,
Johannes mengeluh kepada Heidegger, ia berujar,”Ya, tapi
apakah anda benar-benar yakin filsafat dapat membuar dapur seseorang tetap
berasap?’. Kekhawatiran yang dialami Johannes justru membuat masa depan anaknya
semakin gemilang, sebab di kemudian hari entah kebetulan atau tidak, rekan
sejawatntya tersebut menjadi guru sekaligus sahabat yang paling menentukan
dalam karier Gadamer sebagai filosof.
Kekahawatiran Johannes ketika itu sangat beralasan dengan
kondisi masyarakat Jerman ketika itu. Dimana, semangat modern sedang berada di
titik balik, teknologi menjadi dewa serta teknik menjadi keyakinan umum. Apa
yang dicita-citakan masyarakat ketika itu adalah kemajuan dan kemakmuran dalam
segala bidang. Di tengah suasana dan kondisi kebudayaan seperti itu, keinginan
untuk mendalami ilmu-ilmu humaniora, seperti filsafat ataupun filologi,
terkesan sebagai langkah surut dan tidak efisien dan dinilai sangat kurang
dalam memberikan kontribusi untuk kemajuan dan kemakmuran.
Perjalanan Gadamer dalam dunia filsafat khususnya
heurmeneutika, mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann
berjudul,”Explication of Kant’s Critique of Pure reason” sebagai pengantar
studi sastra Jerman. Gadamer sangat terpukau dengan retorika sang profesor,
sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik
retorika yang indah pastilah terdapat substansi filosofis”.
Tidak dapat diketahui secara pasti,
apakah hidup yang dijalani Gadamer selama lebih dari satu abad adalah sebuah
kehidupan yang ia dambakan yaitu sebuah kehidupan heurmeneutis. Namun, terdapat
beberapa catatan ringkas akan kehidupan pribadi Gadamer bagi pembicaraan
heurmeneutis. Pertama, Gadamer diliputi dengan persoalan kebenaran
yaitu Gadamer memilih bungkam ketika ditanyai mengenai persoalan keimanan. Di
mana ia hidup dalam keluarga protestan yang sangat taat, namun dengan begitu
tidak membuat Gadamer terpengaruh dengan ketaatan keluarganya, ia justru
memilih bungkam atau lebih tepatnya ia bersikap gnostik, terhadap persoalan
ini. Gadamer lebih mengakui kedahsyatan sejarah bagi manusia daripada mengakui
dogma-dogma agama tentang suatu realitas Maha Kuasa yang mengendalikan sejarah.
Namanya melambung dengan persoalan keimanan, sebab mengundang tanya mengenai
perihal keyakinan religius Gadamer. Kedua, minat Gadamer
terhadap ilmu-ilmu humaniora secara umum merupakan anti tesis dari kajian
ayahnya yang sangat ketat bagaikan rumus-rumus kimia yang mengajarinya. Truth
and Method, adalah salah satu karya Gadamer yang sangat terkenal adalah
merupakan resistensi ala Freudian antara proyek intelektual Gadamer
dengan pandangan ayahnya terhadap Geisteswissenschaften. Ketiga,
sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah sosok yang enak diajak untuk
bekomunikasi, bercengkrama dengan siapapun. Dikisahkan oleh Jean Grondin yang
menyaksikan sendiri bahwa Gadamer ketika itu melakukan percakapan dengan para
mahasiswa dari berbagai penjutu dunia. Mereka melakukan percakapan santai,
nyaman dan mampu mewujudkan sebuah komunikasi ibarat dua orang sahabat. Padahal
ketika itu, ia sudah memasuki usia kepala sembilan. Terlihat dalam karyanya, Truth
and Method, yang bertuliskan perilakunya sehari-hari yang sangat terbuka
dalam berdialog, dan ia sering dipandang oleh para kritikus sebagai seorang
yang sangat konservatif. (Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis: Hans
Georg Gadamer, 2006, Ar-Ruzz Media hal 40)
Gadamer dianugerahi usia panjang, yaitu 102 tahun.
Rentang usianya yang lebih dari satu abad ini sungguh merupakan berkat
tersendiri bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu filsafat.
Seluruh rentang tahun di abad ke-20 merupakan bahan mentah kajian refleksi dan
pemikiran filsafatnya, sebab abad ke-20 bisa dikatakan sebagai abad yang kental
diwarnai keterlibatan orang-orang Jerman. Dapat disebut saja beberapa tahun penting
dalam sejarah dunia yang dilibati orang (dan bangsa) Jerman: 1914, 1918, 1933,
1945, dan 1989. Gadamer adalah saksi hidup yang mengalami dan merefleksikan
semua tahun-tahun penting ini dalam masa hidupnya. Akan tetapi, setiap awal
pasti menyimpan pada dirinya sebuah akhir. Pergulatan “mengada” Gadamer di
dunia ini diakhiri dengan serangan jantung. Ia meninggal pada 13 Maret 2002 di
rumah sakit Universitas Heidelberg (Jerman). Jenazahnya dimakamkan di kota
Heidelberg. ( http://hendar2006.multiply.com/journal)
Pemikiran
Heurmeneutika Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer dalam menyumbangkan sebuah
pemikirannya terhadap hermeneutika yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh filsafat Martin Heidegger. Gadamer melanjutkan implikasi kontribusinya
Heidegger terhadap Hermeneutika yaitu pada
“Being and Time”. Hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh oleh
Gadamer ke dalam kata “linguistik” dengan sebuah pernyataan kontroversialnya
yaitu, “Ada (Being) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hermeneutika adalah
pertemuan dengan ada (Being) melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan
karakter linguistik realitas manusia itu sendiri dan hermeneutika larut ke
dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa yang ada,
pemahaman, sejarah, ekssitensi, dan realitas. Oleh karena itu, hermeneutika
diletakkan dalam pusat persoalan filosofis; yang tidak bisa lari dari persoalan
epistemologis ataupun ontologis.
(Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
penj Musnur Hery, Pustaka Pelajar, 2005, hal 47.)
Karya Gadamer Wahrheit und Methode (Kebenaran dan
Metode) memuat pokok-pokok pikirannya tentang hermeneutika filosofis yang tidak
hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh obyek ilmu sosial dan humaniora.
Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat porsi
perhatian Gadamer yang cukup tinggi dan merupakan obyek utama hermeneutikanya.
Kaitannya dengan hal ini, Gadamer mengatakan: “Alles Schriftliche ist in der
Tat in bevorzugter Weise Gegenstand der Hermeneutik” (Semua yang tertulis
pada kenyataannya lebih diutamakan sebagai obyek hermeneutika). Gadamer dalam
karyanya memang tidak memberikan penjelasan, baik secara explisit maupun
implisit, tentang metode penafsiran tertentu terhadap teks. Hal itu dikarenakan
bahwa dia tidak mau terjebak pada ide universalisme metode hermeneutika untuk
semua bidang ilmu sosial dan humaniora, sebagaimana yang pernah digagas oleh
Dilthey. Alasan lain ialah bahwa filsafat hanya berbicara tentang ide-ide umum,
mendasar dan prinsipil tentang suatu obyek pembahasan, sehingga dia menyerahkan
sepenuhnya pembicaraan mengenai metode tertentu kepada setiap ahli bidang ilmu
tertentu. Meskipun demikian, teori-teori hermeneutika Gadamer dapat digunakan
untuk memperkuat metode pemahaman dan penafsiran suatu obyek tertentu, termasuk
di dalamnya teks tertulis.
(http://www.ditpertais.net/Makalah_Syahiron)
Menurut Gadamer, hermeneutika berkaitan dengan pengalaman
bukan hanya pengetahuan. Berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Metode
dalam pandangannya bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran.
Kebenaran akan mengelak jikalau kita menggunakan metodologi, metode menurut
Gadamer tidak mampu mengeksplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam
metode. Hermeneutika dialektis membimbing manusia untuk menyingkap kebenaran,
serta menemukan hakikat realitas segala sesuatu secara sebenarnya. (Kaelan,
2002, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Penerbit Paradigma,
Yogyakarta, hal 209.)
Gadamer mengungkapkan,”Seperti halnya kebenaran,
metode adalah pokok dari keseluruhan kebenaran dan metode, dan ia bukanlah
suatu topik secara rinci yang menempatkan di dalam bagian manapun. Gadamer
tidak memulai dengan metode penjelasan, menyebut satu per satu
persangkaan-persangkaannya, atau menekuni dampak-dampaknya. Jika Gadamer tidak
memulai atau mengakhiri suatu pendefinisian metode, tetapi ia lebih berlanjut
kepada alternatif-alternatif sejarah humanistis yaitu bersifat kemanusiaan
tentangnya. Kebenaran dan metode bagaimanapun bisa dihormati dalam bentuk
perintah penyajian, tidak bisa disebut suatu demonstrasi yang sitematis yang
dapat disebutkan secara spesifik. Ini bukanlah untuk mengatakan, bahwasannya
konsepsi metode adalah datang dan jauh tentangnya”. (Joel C Weinsheimer, 1985 Gadamer’s
Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, Yale University Press, New
Haven and London, hal 02.)
Dijelaskan bahwasannya Gadamer ingin menyatakan metode
bukanlah sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sebab metode ketidakmampuan
mengeksplisitkan kebenaran sendiri. Sehingga yang menjadi persoalan terpenting
dalam Truth and Method bukanlah terletak pada kebenaran semata,
melainkan pada uraiannya tentang implikasi dari kenyataan bahwa
kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam universalan
“pengalaman hermeneutis”, yang tak lain adalah pengalaman aktual manusia ketika
memahami sesuatu. (Inyiak Ridwan Muzir,
2006:100).
Gadamer menuliskan,”Ada yang dapat dipahami adalah
bahasa” (Sein, das verstanden werden kan, is sprache)”. Pernyataan ini
dapat dikatakan sebagai kesimpulan dari seluruh analisis Truth and Method,
bahwa skop pemahaman, oleh karena itu skop hermeneutika, ber-ko-eksistensi
dengan universalitas bahasa.
Bagi Gadamer, bahasa adalah realitas yang tidak
terpisahkan dari pengalaman, pemahaman, pikiran dan das Sein. Maka
bahasa juga tidak pernah dapat ditangkap sebagai faktum atau diperiksa secara
empiris. Bahasa adalah prinsip. Bahasa merupakan perantaraan bukan alat. Bahasa
juga ditegaskan sebagai cakrawala suatu ontologi heurmeneutik. Meskipun bahasa,
menurut Gadamer, merupakan masalah yang paling sukar bagi perenungan manusia,
tetapi dalam kenyataannya bahasa begitu luar biasa dekat dengan pikiran kita.
(Poesporodjo, 1987, Interpretasi, Penerbit Remaja Karya, Bandung, hal:
109).
Bahasa merupakan medium dan fokus dari heurmeneutika.
Oleh karena itu, hermeneutika adalah contoh paradigmatis dari pemahaman,
sedangkan pengalaman hermeneutis adalah eksemplar dari kehidupan di dalam dunia
sebagaimana yang disingkapkan bahasa. Bahkan, Gadamer telah menemukan kenyataan
bahwa fungsi bahasa sebagai penunjuk barang-barang adalah arah yang terbalik.
Titik berangkat seharusnnya dari die sache selbst. Bahasa adalah
pengalaman dunia. Manusia hidup di dalam suatu dunia berkat bahasa. Di dalam
bahasa, dunia tampil. Pengalaman (welterfahrung) yang bersifat kebahasaan adalah
mutlak, melampaui segala relativitas dan hubungan di mana berbagai realitas
dapat ada. Gadamer menyatakan,
”...filsafat
hermeneutika memahami dirinya sendiri bukan sebagai posisi mutlak sebuah
pengalaman, melainkan sebagai jalan pengalaman itu. Hal ini menegaskan bahwa
tidak terdapat prinsip yang lebih tinggi dari pada mengusahakan diri tetap
terbuka untuk berbicara dengan yang lain”.(Kaelan, 2002:217)
Gadamer menyatakan, pengalaman memiliki penggabungan
dialektis ”tidak dalam pengetahuan tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang
lahir dari ruang bebas pengalaman”. Jelasnya, pengalaman disini tidak
dimaksudkan untuk beragam pengetahuan informatif yang menjaga ini atau itu.
Dialektika model Gadamer ini terjadi di dalam pengetahuan hermeneutis itu sendiri
yang jadi eksemplar dari pengalaman manusia secara umum dengan dunia.
Pengalaman hermeneutis terjadi di dalam bahasa dan berlangsung di dalam proses
percakapan dengan ”teks” yang hakikatnya adalah linguistik. Untuk mengungkapkan
dengan cara lain perbedaan dia dengan filsafat logos, Gadamer merumuskan bahwa
dalam dialektika sesuatu telah ”terjadi”, sementara, menurut filsafat logos
sesuatu itu ”ditemukan/disingkap” (revealed).
Misalnya, ketika seorang penafsir
mengahadapi suatu teks, atau ketika seorang sejarawan menghadapi tradisi, kedua
belah pihak saling bertanya-jawab. Di dalam permainan inilah terjadi dialektika
sebuah peristiwa, sehingga disitu ada sesuatu yang terjadi dan muncul. Adapun
di dalam filsafat logis, dialektika antara kedua belah pihak dianggap mampu
menemukan atau menyingkap sesuatu di dalam dirinya sendiri (sintesis), kendati sebelumnya sesuatu itu
sudah eksis. (Inyiak Ridwan Muzir, 2006:43)
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik
tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan
bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu
dari komunikasi intersubyektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang
fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks
merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak. Karena itu, tampak di sini
Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan
fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek
pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika
tradisional. ( http://www.suarakarya-online.com/news)
Gadamer mengembangkan pengertian hermeneutika yang
terpusat pada bahasa, bersifat ontologis, dialektik dan spekulatif. Tujuan
hermeneutikanya bukan soal metode, bukan membuat aturan-aturan pemahaman yang
”secara objektif sah”, melainkan memahami pemahaman sekomprehensif mungkin.
Gadamer mengembangkan ontologi pemahaman menjadi hermeneutika dialektik,
menjadi hermeneutika spekulatif yang mempersiapkan dasar filsafat bagi
pendalaman yang kritis tentang berbagai konsepsi interpretasi.
Kerangka
hermeneutika Gadamer berangkat dari paradigma Heidegger tentang pembalikan
ontologis dalam hermeneutika. Namun Gadamer mau bergerak lebih jauh lagi dengan
meneliti konsekuensi dari pembalikan itu untuk pemahaman kita tentang ilmu-ilmu
humaniora. Dengan belajar dari pendekatan Giambattista Vico (dalam Nuova
Scienza) dan neo Aristotelianisme, Gadamer mengkombinasikan pendekatan
ontologis-eksistensial Heidegger khususnya tentang pemahaman sebagai bentuk
penyingkapan diri dengan ide Bildung (pendidikan dalam kultur). Bentuk
penyingkapan diri pengada selalu diantarai oleh bahasa. Manusia adalah pengada
dalam bahasa. Lewat bahasalah dunia terbuka dan menyingkapkan dirinya pada manusia.
Manusia berupaya mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa. Manusia
tidak bisa memahami dirinya, kecuali kalau manusia memahami dirinya
tersituasikan dalam budaya yang dimediasi bahasa dan bersifat historis. Bahasa
adalah kodrat kedua manusia.
Cara
pandang semacam ini punya konsekuensi dalam memahami seni, budaya, dan
teks-teks historis. Sebagai bagian dari tradisi, karya-karya historis tidak
pertama-tama menghadirkan diri mereka di depan kita sebagai sesuatu yang netral
dan objek bebas-nilai (dalam pengertian untuk keperluan investigasi ilmiah).
Mereka adalah bagian dari cakrawala yang kita hidupi dan yang lewatnya
pandangan kita tentang dunia mendapatkan bentuknya. Dengan kata lain, kita
sudah selalu dibentuk oleh karya-karya atau teks-teks historis ini sebelum kita
mendapatkan kesempatan untuk mendekatinya dengan tatapan objektif. Inilah yang
oleh Gadamer disebut sebagai sebuah pemahaman yang sama (Verstandigung),
atau sebuah kesepakatan yang dalam (tiefes Einverstandnis).
( http://hendar2006.multiply.com/journal)
Kritik
atas wilayah Estetis
Wilayah lain yang menjadi persoalan hermeneutika yang
disoroti oleh Gadamer adalah estetika. Di mana ia mengkritik wilayah estetika
dan seni menjadi terpinggirkan dalam geisteswissenschaften. Di wilayah
inilah yang menjadi keunikan Truth and Method, sebab menganalisis seni
dan estetika adalah sebagai titik tolak tentang pemahaman secara umum. Gadamer
mengatakan dalam bukunya,” Pengalaman dari
seni adalah sebagai pengingat yang paling penting kepada kesadaran yang
paling ilmiah untuk mengizinkan batas-batasnya...,Gadamer melebihi dalam ilmu
keindahan, dapat dilihat, dalam beberapa jalan saling tergantung satu sama
lain: Pertama, kesadaran akan keindahan lebih dari mengetahui diri
sendiri; Kedua, yang lebih yaitu di mana yang intim dihubungkan dengan
suatu jalan seni karya yang baik (Seinsweise). Ketiga, yang ada dalam
seni dan estetika dapat memberikan kesadaran yang terbaik untuk memahami arti
konsep humanistis (bersifat kemanusiaan) dari estetika yang memperoleh tetapi
secara palsu dibatasi dalam proses. (Joel C Weinsheimer, 1985:66)
Berdasarkan definisi, humanisme adalah paham filosofis
yang memuliakan nilai dan martabat manusia serta menjadikannya sebagai patokan
dari segala sesuatu; atau bisa juga diartikan sebagai aliran filsafat yang
menjadikan hakikat, batas, minat, dan kepentingan manusia sebagai tema
utamanya. Humanisme menjadi tema penting dalam pemabahasan Gadamer ketika ia
mengkritik seni dalam Truth and Method.
Menurut Gadamer, konsep kesadaran estetika dalam
perbedaannya dan pemilahannya dari bidang ”non estetika” pengalaman, relatif,
bersifat modern. Namun pada kenyataannya konsep ini merupakan suatu konsekuensi
dari pensubjektivikasian secara umum terhadap pemikiran sejak zaman Descartes,
suatu kecenderungan untuk memberikan landasan seluruh pengetahuan pada
ketentuan subyektif. Berdasarkan konsepsi ini, subyek yang merenungkan obyek
estetis merupakan suatu kesadaran kosong yang sedang menerima persepsi dan
terkadang menikmati keberlangsungan bentuk inderawi yang murni. Dengan
demikian, ”pengalaman estetis” bersifat terpisah dan dari terputus yang
lainnya, ia merupakan bidang yang bersifat lebih pragmatis; ia tidak dapat
diperkirakan dalam hal ”kandungan” nya, karena ia merupakan suatu respon yang
muncul. Pengalaman estetis tidaklah menghubungkan dirinya dengan pemahaman diri
akan subyek, atau waktu; ia dipandang sebagai suatu momen a-temporal tanpa
adanya acuan terhadap yang lainnya kecuali dirinya sendiri. (Richard E.
Palmer, 2005:196)
Kritik estetika yang dilancarkan Gadamer sebenarnya ingin
membuktikan bahwa pengalaman estetis memiliki klaim kebenarannya sendiri yang
tidak akan tertanggulangi oleh metode diferensiasi estetis Kantian (pemilahan
ganda). Kritik ini menjadi signifikan sebagai landasan prinsipil bagi
pembicaraan sebagai landasan utama Geisteswissenschaften.
Karya seni hanya akan eksis ketika dia dialami
(experienced). Namun, pengalaman ini bukanlah pengalaman tentang suatu subjek
akan sebuah objek. Karena di di sini subjek tidak lagi menjadi dirinya seperti
sebelumnya, dan karena perubahan ini terjadi justru seperti sebelumnya, dan
karena perubahan ini terjadi perubahan justru akibat karya yang tidak
objektivikasi. Maka, karya seni baru menjadi karya seni ketika dia tidak lagi
menjadi objek bagi subjek, akan tetapi keduanya disatukan. Karya seni adalah
permainan karya tersebut. Jadi, kritik estetika yang diajukan Gadamer pada
pemilihan ganda, karena pemilihan ini membuat karya seni jadi barang yang asing
dan mati.
Karya seni benar-benar mengetengahkan sebuah dunia kepada
manusia, di mana manusia tidak perlu mereduksinya ke dalam pemikiran atau
prakiraan-prakiraan yang bersifat metodologis. Namun manusia hanya memahami
dunia ini karena telah berpartisipasi dalam struktur pemahaman diri yang
membuatnya menjadi kebenaran bagi manusia itu sendiri. Seniman memiliki
kekuatan untuk metransformasikan pengalaman
keberadaannya ke dalam suatu imej atau bentuk. Sebagai suatu bentuk ia
menjadi abadi, dan perjumpaan dengan bentuk tersebut akan bersifat terbuka bagi
generasi-generasi selanjutnya, dapat diulangi terus-menerus. (Richard E Palmer, 2005:196)
Apa yang menjadi sentral pengalaman estetis sebuah karya
seni bukanlah pada kandungan atau bentuknya namun pada maknanya, totalitas
telah digiring ke dalam suatu imej dan bentuk, sebuah dunia dengan dinamikanya
sendiri. Dengan demikian dalam perjumpaan estetik dengan sebuah karya seni
seseorang tidaklah berupaya untuk memisahkan puisi dari materi-materi bakunya,
tidak pula dalam pengalaman menjumpai suatu penampilan dari karya seni
seseorang secara terus menerus memilah makna sesuatu dari penampilan itu (Richard E Palmer, 2005:200). Gadamer mengajukan
sesuatu yang merepresentasikan hal yang lebih jauh bersifat merusak dari akibat
pemilahan, terhadap estetika. Terhadap paham ketidakbertempatnya seni ketika
dipandang dalam sinaran ”kesadaran estetis”, gadamer mengajukan gagasan akan
seni sebagai keberadaan dekoratif. Seni tidaklah bertempat. Ia menghajatkan
suatu tempat dan mencipta dari tempat itu sendiri sebuah tempat yang terbuka.
Karya seni sebenarnya bukanlah milik museum, yang dikumpulkan secara bersamaan
dalam suatu tempat yang tidak bertempat. Ada suatu kebutuhan yang terbatas,
ujar gadamer, untuk mengubah konsepsi seni yang telah menggaung pada abad-abad
terakhir dan ”konsep representasi di mana galeri-galeri modern menjadikan
manusia lebih dekat dengan karya seni tersebut”. Gadamer mengatakan manusia
harus merehabilitasi elemen dekoratif dan temporal yang telah diabaikan oleh
estetika yang didasarkan pada ”bentuk murni” atau ”ekspresi pengalaman”. Seni
meruang dan mewaktu.”Hal pertama yang harus dijadikan agenda adalah menemukan
suatu cara untuk membalikkan suatu horizon yang mencakup baik seni dan sejarah
secara bersamaan”.
Gadamer mengatakan.”seni tidak ”merepresentasikan”
sesuatu yang diharapkan muncul dalam keberadaan; juga jelasnya terdapat sebuah
dunia yang terbuka. Pandangan akan estetika yang menegaskan gagasan tentang
”estetika murni” tidak akan mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini,
dan paham-paham estetika yang berdasarkan pada pengalaman makna term yang lebih
lama juga tidak memadai. Keduanya bergerak dari premis yang salah dalam mengacu
balik karya seni kepada subyek dalam suatu hubungan subyek-obyek. Semuanya tidak
berhasil sampai manusia mendapatkan suatu horizon yang mempertanyakan hal-hal
tersebut di mana mentransendensikan model skema subyek-obyek yang lama sehingga
manusia dapat menemukan suatu cara melalui pemahaman fungsi dan maksud, hal
bagaimana dan apa, temporalitas dan ruang dan karya seni tersebut. (Richard E Palmer, 2005:201-202)
Gadamer, dalam teori-teori estetika, melihat adanya
kesalahan modern dalam mengacukan segala sesuatu kepada subyektifitas manusia.
Dengan ”Permainan” Gadamer tidak mengartikannya sebagai sebuah sikap
atau aktivitas kreasi dan menikmati subyek manusia; ia tidak memaknai permainan
tersebut dengan ”kebebasan” subyektivitas manusia yang dapat digunakan dalam
permainan. Sebalinya ”permainan” mengacu pada cara berada karya itu sendiri.
Obyek telaah gadamer tentang permainan dalam kaitannya dengan seni adalah untuk
membebaskan permainan tersebut dari kecenderungan tradisional yang
mengasosiasikan permainan dengan aktivitas subyek. (Richard E Palmer, 2005:202). Gadamer menyatakan;
”Kita telah melihat bahwa sebuah permainan memiliki
keberadaannya tidak dalam kesadaran atau aksi para pemain, namun sebaliknya
permainan menggambarkan para pemain dengan bidangnya sendiri dan memenuhi para
pemain tersebut dengan spiritnya. Pemain mengalami permainan untuk dirinya
sebagai sebuah realitas yang memiliki kekuatan. Ini mengaplikasikan secara
lebih jauh di mana realitas ini merupakan realitas ”yang dimaksudkan”-dan
inilah yang merupakan sesuatu di mana apa yang dimainkan nampak sebagai
presentasi bagi para pemirsa.”
Dalam memandang analogi antara karya seni dan permainan,
tentunya dalam menjadikan struktur permainan sebagai panduan model struktur
yang memilki otonominya sendiri dan bahkan dipentaskan kepada pemirsa. Karya
seni tidaklah dipandang sebagai hal statis, tetapi sebagai suatu hal yang
dinamis. Pandangan estetika yang terpusat pada subyektivitas ditransendensikan
dan strukturnya justru digagas yang memperlihatkan tidak memadainya skema
subyek-obyek dalam acuannya kepada pemahaman sebuah permainan, dan dalam
penjelasan sebuah karya seni. (Richard E Palmer, 2005:205).
Gadamer
mengatakan, ”the nature of aft, following Hegel, is to present man with
himself. …, in art, objects other than man can present the human and the
moral—but only reason of their representation. A stunded tree does not of
itself express misery, but picture of it can so do. By contrast, a picture of a
crippled human body expresses the same misery as does the body itself. In such
a case no personification is involved, and hence there is no split of the
representation from the represented,”only in the representation of the human
form does whole content of the artwork speak to us as the expression of its
object as well”. (Joel C
Weinsheimer, 1985:84).
Gadamer menjadikan pengalaman seni sebagai
titik awal dan bukti bagi substansiasi penegasan-penegasannya. Ia memperlihatkan
bahwa,”kesadaran estetis” tidaklah diderivasi dari hakikat pengalaman seni,
tetapi merupakan suatu konstruksi refleksif yang berdasarkan pada metafisika
subyektivis. Pengalamanan inlah yang memperlihatkan bahwa karya seni tidaklah
sekedar obyek yang berlawanan dengan subyek yang berdiri sendiri. Karya seni
memiliki keberadaan otentiknya dalam kenyataan, dalam menghadirkan pengalaman,
bahwa ia metransformasikan orang yang mempunyai pengalaman tersebut; karya dari
karya seni, ”Subyek” pengalaman seni, sesuatu yang ada sepanjang waktu, bukan
merupakan suatu subyektifitas seseorang yang berhadapan dengah karya; ia
merupakan karya itu sendiri. Begitu halnya permaianan, ia memiliki hakikatnya
sendiri bebas dari kesadaran orang memainkannnya. Gadamer telah menemukan
sebuah model yang tidak hanya memperlihatkan kejatuhan estetika yang
tersubyektivasi tetapi juga memperlihatkan seseuatu yang dapat dijadikan
sebagai basis substansiasi karakter dialektiktis dan ontologis heurmenetikanya
sendiri. (Richard
E Palmer, 2005:206)
Sampai saat ini, kritik-kritik baru hanya mempertahankan
otonomi karya seni dalam hal pengurangan relevansinya. Sikap atas
mempertahankan atas puisi mereka sekedar mengingatkan kita bahwa puisi dan
penyair tidak lagi mempunyai tempat dalam masyarakat. Dewasa ini pendekatan
”obyektif” yang murni dari Gadamer, yang secara pasti membebaskan interpretasi
dari estetika mitos dan estetika yang tersubyektivasi –terutama dikotomi subyek
mitos dan dikotomi bentuk –isi—masih mempertahankan karya sastra yang terpisah
dari opini dan perilaku kreatif pengarang, dan dari kecenderungan untuk
menjadikan subyektivitas pembaca sebagai sebuah titik awal. Kritk baru
terkadang memperbincangkan ”kandungan” keberadaan karya; dalam hal ini mereka
sebenarnya sejalan dengan Gadamer. (Richard E Palmer, 2005:206)
Pandangan gadamer
atas kritiknya terhadap wilayah seni berkemungkinan memberdayakan manusia untuk
melihat lebih jelas hakikat kesinambungan antara pemahaman diri yang diperoleh
dari sastra dan pemahaman diri di dalam sepanjang manusia itu eksis. Secara
khusus Kritik Baru telah mampu melalui pemikiran Gadamer untuk merenggut
historisitas sastra. Kritik Gadamer atas wilayah seni ini akan lebih jelas
setelah memahami atas konsepsi sejarah umum dan konsepsi historisitas yang
telah diketengahkan. (Ibid.).
Kritik
Historis
Gadamer
mendefinisikan teori ini sebagai berikut:
Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein ist zunächst
Bewusstsein der hermeneutischen Situation. Die Gewinnung des Bewusstseins einer Situation ist aber in jedem
Falle eine Aufgabe von einer Schwierigkeit. (…) Die Situation stellt einen Standort dar, der die
Sichtmöglichkeit beschränkt, in Form eines Horizontes.
[“Wirkungsgeschichtliches
Bewusstsein adalah pertama kesadaran terhadap situasi hermeneutik. Namun,
mendapatkan kesadaran terhadap sebuah situasi bagaimanapun merupakan tugas yang
sulit. ..., Situasi tersebut merupakan posisi yang membatasi kemampuan melihat
sesuatu; situasi ini berbentuk horison [atau: cakrawala pemahaman].
Menurut
teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi
hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur maupun
pengalaman hidup. Karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks seorang
penafsir harus atau seyogyanya sadar bahwa dia berada pada posisi
tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang
sedang ditafsirkan. Lebih lanjut Gadamer mengatakan: “Seseorang [harus] belajar
memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak,
pengaruh dari Wirkungsgeschichte (affective history; “sejarah
yang mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran.” Mengatasi problem
keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh Gadamer.
Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi
subyektifitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks. ( http://www.ditpertais.net/Makalah_Syahiron).
Di sisi lain, Gadamer juga mengkritisi wilayah historis
yaitu pemilahan ganda yang analog juga terjadi kesadaran historis yang berakar
pada neo-Kantianisme. Ini terlihat dalam Geisswissenschafften yang
berusaha menceraikan peristiwa sejarah dari konteks dan pelakunya. Kritik
Gadamer terhadap kesadaran historis bertolak dari pemikiran hermeneutis
Heidegger yang ingin memperlihatkan bahwa pemahaman adalah Way of Being
dan hakikatnya adalah temporal. Kesimpulan ini lahir dari dari analisisnya tentang
temporalitas Dasein. (Inyiak Ridwan Muzir, 2008;131).
Kritik historis yang diarahkan oleh Gadamer mendasari apa
yang diketengahkan oleh Heidegger adalah temporalitas pemahaman. Hal yang
disoroti oleh Gadamer yaitu bukan lagi sekedar Da (di sana) Dasein,
tapi ”kemungkinan-untuk-mengada-secara menyeluruh” (Ganzseins-konnen)
yang diwujudkan dalam tiga ekstase perhatian temporal. Gadamer kemudian
”meneliti berbagai akibat yang diterima oleh hermeneutika dari kenyataan bahwa
Heidegger menurunkan struktur sirkular pemahaman ini dari temporalitas
Dasein”., karena Heidegger sendiri tidak mengacuhkan persoalan ini, yang tanpa
diduga mungkin akan memerosokkan manusia kembali pada tema kritik sebagaimana
persoalan epistemologi dan metodologi murni, padahal inilah yang akan
diabaikan.
Di lapangan sejarah, pemahaman historis sesungguhnya
adalah upaya pencapaian kesepahaman tradisi masa lalu dan tradisi masa
kini-tentang satu pokok persoalan. Masa lalu tidak diperlakukan sebagai objek
dalam dirinya sendiri, akan tetapi dipahami ”dalam hubungan” dengan masa
sekarang. Oleh karena itu, pemahaman sesungguhnya bukanlah soal memahami orang
lain,”masuk kedalam kepala orang lain”, apakah itu pengarang teks, teman
dialog, atau perilaku peristiwa di masa lalu, sebagaimana yang diyakini
hermeneutika Romantis, melainkan soal menemukan dan mencapai pemahaman ”di
antara” kedua belah pihak tentang suatu pokok masalah. Wilayah antara inilah
yang sesungguhnya menjadi lokus hermeneutika.
Hermeneutika gadamer dan kritiknya atas kesadaran sejarah
menegaskan bahwa masa lalu tidak seperti sebuah tumpukan kenyataan yang dapat
dijadikan sebuah obyek kesadaran, namun lebih sebagai sebuah arus di mana
manusia sebagai bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman.
Dengan begitu, tradisi bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan manusia namun
merupakan sesuatu di mana manusia berdiam diri dan sepanjang manusia itu eksis;
dalam kiasan yang sangat terkenal ia bersifat sangat transparan sebagai sebuah
mediasi yang seolah-olah tidak terlihat pada manusia-sebagaimana tidak
terlihatnya air bagi ikan. (Richard E Palmer, 2005:208)
Kritik ”kesadaran sejarah” baik dalam pemikiran Gadamer
maupun Heidegger terutama ditujukan kepada ”mazhab historis” di Jerman, di mana
wakilnya yang sangat terkenal pada abad ke 19 adalah J.G. Droysen dan L. Von
Ranke. Para pemikir ini mengetengahkan suatu ulasan tentang ”hermeneutika
romantis”. Meskipun begitu, hermeneutika model ini tidak seharusnya
disalahtafsirkan sebagai romantisasi sejarah dalam gaya Sir Walter Scott, namun
sebaliknya sebagai upaya yang sangat serius dalam sejarah ”obyektif”. Tugas
sejarawan bukanlah menginjeksi perasaan pribadinya ke dalam sejarah, melainkan
masuk secara total ke dalam dunia sejarah di mana ia ingin memberi suatu
pemahaman. (Richard
E Palmer, 2005:200)
Gadamer menyatakan sejarah yang membentuk kesadaran.
Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Gadamer mengistilahkannya Wirkungsgeschichtliches
Bewusstsein (effectivehistorical consciousness/efek kesadaran
sejarah). Jadi, Gadamer tidak memandang sejarah sebagai sesuatu objek, pasif
dan dapat diinvestigasi, seperti pendapat Dilthey. Bagi Gadamer, manusia tidak
dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Manusia sudah berada di
dalam dunia. Wujud di dunia adalah eksistensi manusia. Oleh sebab itu, dunia
tidak dapat diobjektifikasikan. Metode ilmiah sebagaimana yang dikembangkan
sejak periode Pencerahan (Enlightenment) keliru, karena ingin memisahkan
antara manusia sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Jadi, efek kesadaran
sejarah adalah kondisi yang non-objektifikasi. Sekalipun begitu, kesadaran yang
non-objektifikasi selalu mengiringi proses pemahaman. Gadamer menyatakan “a nonobjectifying consciousness always
accompanies the process of understanding.”
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia
sebenarnya telah ada sebelum manusia mulai memahami. Oleh sebab itu, menurut
Gadamer, pemahaman adalah kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, pemahaman
bukanlah salah satu daya psikologis manusia. Pemahaman adalah persoalan
ontologis. Gadamer menolak pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menganggap
penafsiran sebagai aktifitas para penafsir dan merupakan persoalan metodologis.
Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai epistemologis karena
hermeneutika merupakan seni untuk menghindari kesalahpahaman. Padahal dalam
pandangan Gadamer, kesalahpahaman mengasumsikan sebelumnya adanya kesepakatan
umum (a common accord/agreement/Einverständnis) tentang bahasa yang umum
dan wawasan kebudayaan (a common linguistic and cultural horizon).
Bagi
Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi seperti yang dipahami oleh Schleiermacher
dan Dilthey, tetapi mediasi (Understanding is not reconstruction but
mediation). Kita
adalah penyampai masa lalu kepada masa sekarang. Pemahaman pada esensinya tetap
merupakan sebuah mediasi atau penerjemahan makna masa lalu ke dalam situasi
sekarang. Jadi, Gadamer menekankan secara khusus bukan kepada aplikasi metode
oleh subjek, tetapi kepada kesinambungan sejarah yang merupakan medium yang
melingkupi setiap tindakan subjek dan objek-objek yang ia pahami. Pemahaman
merupakan sebuah peristiwa, sebuah gerak sejarah tersendiri yang baik
penerjemah ataupun teks tidak dapat difikir sebagai bagian-bagian yang otonomi.
Inti pemahaman bukanlah difikirkan kebanyakannya sebagai tindakan subjektifis,
tetapi sebagai masuknya ke dalam peristiwa transmisi yang masa lalu dan masa
sekarang dimediasikan secara konstan. (Hans
George Gadamer, 1976, Philosophical Hermeneutics, University of
California Press Los Angeles United States of America, xvi.)
Gadamer memaknai pemahaman sebagai saling memahami. Jadi, pemahaman merupakan
upaya bersama. Pemahaman selalu upaya
untuk mengerti tentang sesuatu. (understanding means understanding one
another. Understanding first of all having come to a mutual understanding. Understanding
is always coming to an understanding about something). Konsep saling
memahami terabaikan dalam pemikiran Schleiermacher. Dalam pandangan Gadamer,
konsep pemahaman dalam pemikiran Schleiermacher adalah pemahaman seseorang
terhadap yang lain. Bagi
Gadamer, konsep pemahaman seperti ini adalah konsep satu arah (unilateral).
(Joel C Weinsheimer, 1985:137.)
Pemahaman sejarah tidaklah terletak dalam totalitas
penyingkiran, pengalaman diri seseorang, akan tetapi terletak di dalam
kesadaran bahwa seseorang tersebut merupakan sebuah kesadaran sejarah; terutama
ia terletak dalam partisipasi umum seseorang dengan lainnya dalam ”kehidupan”.
Dilthey beranggapan bahwa ekspresi hidup sebenarnya merupakan ”obyektifikasi
kehidupan” yang dari sana dapat memiliki pengetahuan ”obyektif”, seraya ia
mengkritik metode-metode ilmu alam, dilthey juga berkeinginan untuk memperoleh
ideal pengetahuan obyektif dalam studi-studi sejarah. Studi-studi sejarah dapat
juga disebut dengan ”sains”, yang berbeda dengan,”ilmu-ilmu kemanusiaan” (Geisteswissenschaften).
Gadamer melihat Dilthey terlibat dalam ideal obyektivitas yang diasosiasikan
oleh mazhab historis yang berlawanan dengan apa yang dikategorikan Dilthey
dengan kritisisme. Pengetahuan obyektif, pengetahuan ”valid” mensugestikan
suatu titik pandang di atas sejarah di mana sejarah itu sendiri dapat dilihat
–suatu titik pandang tertentu yang tidak berlaku bagi manusia.
Manusia yang menyejarah selalu melihat dan memahami dari
sudut pandangnya dalam ruang dan waktu; Gadamer mengatakan manusia tidak dapat
berdiri di atas relativitas sejarah dan memperoleh pengetahuan validnya.
Dilthey secara tidak sadar meminjam konsep metode induktif dari sains, namun
sebagaimana yang ditelaah Gadamer,”Pengalaman historis bukanlah sebuah
prosedur (Verfahren) dan tidak memiliki anonimitasnya dengan sebuah metode...
(ia memiliki) suatu bentuk obyektivitas yang sangat berbeda dan ia terjadi
dalam suatu cara yang berbeda”.
Dalam wilayah kritik historis ada beberapa yang menjadi
acuan Gadamer dalam menganalisis temporalitas Dasein.
Pertama, Prasangka dan Tradisi. Prasangka telah
dianaktirikan ilmu pengetahuan modern sebagai anak kandung pencerahan.
Prasangka menurut Gadamer berpotensi mengandung sisi positif sekaligus negatif
dan mesti rehabilitasi. Prasangka direhabilitasi demi memosisikan keterbatasan
manusia sebagai makhluk historis sebagaimana mestinya. Tentunya dijawab,
rehabilitasi ini menjawab persoalan bagaimana membedakan prasangka yang
legitimet dengan yang tidak. (Inyiak Ridwan Muzir, 2008;131).
Gagasan membebaskan pemahaman dan interpretasi dari
prasangkan gagasan yang telah berlaku pada suatu masa sangat umum bagi manusia.
Pengetahuan historis hanya dapat dipenuhi
melalui pembebasan dari gagasan-gagasan personal dan nilai-nilai yang
ada pada suatu subyek dan secara sempurna bersifat ”membuka wawasan ” (open
maind) terhadap gagasan dan nilai-nilai masa lalu. Eksplorasi Dilthey tentang
pandangan dunia (Weltanschauuungen) disifati atas sebuah relativisme
historis yang bersifat terbuka yang menegaskan bahwa masa historis seseorang
tidak harus dinilai dalm term orang lain. Misalnya, sarjana sastra yang
mengharapkan manusia dapat bersifat terbuka terhadap teologi Paradise Lost.
Karena setiap individu tidak mempunyai hak untuk menilai suatu karya sastra
dengan ”standar-standar” masa kini. Kita membaca Paradise Lost sebagai
sebuah ”karya sastra” karena kebebasan gayanya, kemuliaan konsepsinya, kekuatan
imajinatifnya, --bukan karena kebenaran. Contoh seperti ini, akan memisahkan
keindahan dari kebenaran. (Richard E Palmer, 2005:214)
Di balik prasangka yang terbuka ini adalah ketidakinginan
untuk menanggung penilaian manusia; masa lalu tetap berlawanan dengan manusia
sebagai sesuatu yang hampir-hampir tidak relevan, suatu obyek keinginan untuk
berhubungan dengan hal yang kuno. Posisi kaum estetis terletak pada pemisahan
bentuk-isi yang tidak bisa diabaikan dalam estetika yang tersubyektivasi,
seperti yang telah diperlihatkan bahwa kebenaran dan keindahan tidak dapat
dipisahkan dalam pengalaman sebuah karya seni. Mengikuti pemahaman historis
bahwa para Antiquarian dan peminat filologi tentang masa lalu sebagai masa lalu
tidak lagi memiliki pemahaman tentang sejarah yang lebih menggema daripada kaum
estetis. (Ibid.).
Masa sekarang juga tidak dapat ditanggalkan begitu saja
untuk masuk pada masa lalu; ”makna” dari sebuah karya masa lalu tidak dapat
dilihat secara menyendiri dalam term dirinya sendiri. Sebaliknya, ”makna” karya
masa lalu didefinisikan dalam term pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan
kepadanya dari masa sekarang. Antiquarianisme merupakan suatu penolakan terhadap
historisitas sebenarnya, historisitas keseluruhan pemahaman masa lalu di mana
manusia berada pada masa sekarang. Prasangka bukan merupakan sesuatu yang harus
atau dapat disalurkan dengannya; prasangka merupakan basis keberadaan manusia
yang membuat manusia mampu memahami sejarah secara keseluruhan. (Richard E Palmer, 2005:214)
Kedua, Konsep Distansi Temporal, bagi Gadamer
ketegangan antara masa kini dan masa lalu dengan sendirinya, bahkan dalam
beberapa kemanfaatan cara, merupakan faktor penting dalam hermeneutika: ”Suatu
posisi antara hal yang asing dan familiar berada di antara tujuan yang berlaku
secara historis, merenggangkan obyektivitas warisan budaya dan rasa kepemilikan
manusia akan sebuah tradisi”. Dalam hal, ”keberantaraan” inilah posisinya sebenarnya
hermeneutika. Dengan begitu, mediasi hermeneutika melibatkan baik mana yang secara historis dimaksudkan maupun
yang secara historis merupakan tradisi, namun ini tidaklah bermakna bahwa tugas
hermeneutika adalah untuk mengembangkan suatu prosedur metodis pemahaman,
melainkan untuk mengklarifikasi persyaratan-persyaratan di mana pemahaman dapat
terjadi.
Secara logis sebuah karya seni yang diciptakan dewasa ini
seharusnya memiliki makna paling berharga bagi manusia, sifat aktualitasnya,
meskipun manusia mengetahui dari pengalaman yang dihadapinya bahwa hanya
waktulah yang akan menentukan signifikansinya dari hal-hal yang tidak
signifikan. Gadamer menyatakan, hal ini disebabkan karena distansi temporal
telah membunuh minat personal manusia terhadap subyek, namun karena fungsi
waktu yang yang mengeliminasi apa yang bersifat esensial, yang memungkinkan,
makna sebenarnya yang tersembunyi dalam sesuatu menjadi jelas. Dengan demikian,
distansi temporal memiliki fungsi negatif dan positif: ”ia (distansi temporal)
tidak hanya memungkinkan prasangka tertentu yang menjadi khas bagi hakikat
subyek menjadi mati namun juga menyebabkan prasangka-prasangka tersebut yang
mengarah pada pemahaman sebenarnya lebih berfungsi”. (Richard E Palmer, 2005:214)
Ketiga, Memahami Pengarang Teks, secara prinsip tugas
hermeneutika adalah memahami teks, bukan pengarangnya. Baik konsep distansi
temporal maupun penekanan pada makna dalam pemahaman historis seharusnya
menciptakan bukti-diri ini. Teks dipahami bukan karena suatu hubungan antara
pribadi-pribadi dilibatkan tetapi dikarenakan partisipasi yang terjadi dalam
pokok pembahasan di mana teks dapat berkomunikasi. Juga, partisipasi ini
menekankan kenyataan bahwa seseorang tidak harus lebih jauh keluar dari
dunianya sendiri membiarkan teks mengarahkan dirinya dalam dunia kekiniannya;
ia harus membiarkan teks tersebut hadir bagi dirinya, bersifat kontemporer (gleichzeitig).
Pemahaman bukanlah suatu proses subyektif
seperti suatu pesoalan penempatan diri seseorang di dalam suatu tradisi
atau di dalam suatu ”peristiwa” yang mentransmisi tradisi tersebut kepada
dirinya. Pemahaman merupakan suatu partisipasi di dalam arus tradisi, di dalam
suatu momen yang menggabungkan masa lalu dan masa sekarang. Konsepsi pemahaman
inilah yang harus diterima ujar Gadamer.
Keempat, Rekonstruksi Masa Lalu, konsekuensi lain dari
historisitas intrinsik yang terlibat dalam pemahaman teks-teks kuno apa pun
adalah bahwa seseorang harus mempertimbangkan kembali posisi hermeneutis yang
merekonstruksi dunia karya seni yang merupakan tugas utama pemahaman.
Rekonstruksi dunia di mana sebuah karya telah hadir dan rekontruksi
orisinalitas karya seni sangatlah penting bagi pemahaman, bahkan Gadamer justru
lebih mempertegas lagi bahwa rekonstruksi ini sebagai aktualisasi basis atau
final di dalam hermeneutika, atau bahkan sebagai kunci ke arah pemahaman.
Kelima, Signifikansi Aplikasi, dalam analisis Gadamer
mengenai pemahaman, ia berpendapat ”sesuatu seperti aplikasi teks yang harus
dipahami dalam situasi kekinian selalu mengambil tempat. Dalam makna mengetahui
dan menjelaskan, memahami sudah mencakup di dalamnya sesuatu seperti aplikasi
atau relasi teks terhadap suasana kekinian. Hermeneutika teologis dan juridis
menggiring aspek keseluruhan pemahaman ini untuk diperhatikan sepenuhnya, dan
dengan begitu hermenutika tersebut
membentuk suatu pola yang lebih baik untuk mendapatkan kelayakan operasional
pemahaman dalam sejarah dan sastra dibandingkan dengan tradisi filologi, yang
secara artifisial mengabaikan faktor aplikasi. Gadamer mengatakan,
”Pada realitasnya, hermeneutika yuridis bukanlah ”hal
yang spesial” namun ia disesuaikan
dengan tugas memberikan acuan kepada hermenutika historis akan luas
problematikanya. Ia dapat merekontruksi kesatuan kuno problem hermeneutis yang
dijumpai secara umum (pada abad ke 18) oleh para ahli hukum, teologi dan
filologi”.
Setelah
mengkritisi wilayah historis dalam temporalitas dasein yang menjadi acuannya,
gadamer juga menilai kesadaran historis otentik. Tema yang digunakan gadamer
yaitu wirkungsgeschichtliche Bewusstein, (Richard E Palmer, 2005:226). Terjemahannya berbunyi,
”kesadaran di mana sejarah berlaku”, atau” Kesadaran operatif historis”.
Gadamer menjelaskan bahwa kesadaran historis otentik bukanlah kesadaran
historis Hegelian yang menempatkan kesadaran dalam atmosfir refleksitas dan
menjadikannya sebagai mediasi sejarah dan masa kekinian. Kesadaran historis
otentik ini merupakan suatru kesadaran spekulatif dan dialektis, namun makna
dialektis bukanlah mediasi-diri terhadap nalar tetapi merupakan struktur
pengalaman itu sendiri. (Richard
E Palmer, 2005:226).
Kesadaran historis otentik tidak
melihat masa kini sebagai puncak kebenaran; ia membiarkan dirinya terbuka bagi
klaim di mana kebenaran dalam karya dapat mengarah kepadanya. ”Kesadaran
hermeneutis mendapatkan pemenuhan dan kepuasannya tidak dalam kebertentuan-diri
yang metodis tetapi dalam kesiapan eksperensial dan keterbukaan di mana
seseorang yang ”memiliki pengalaman” berlawanan dengan seseorang yang bersifat
dogmatis. Inilah yang memberikan karakter kepada kesadaran operatif
historis...”, Orang yang ”memiliki pengalaman” tidak lagi semata memiliki
pengetahuan obyektif, namun lebih memiliki pengalaman yang tidak dapat
di-obyektifkan yang telah mematangkannya dan menjadikannya terbuka terhadap
tradisi dan masa lalu. (Richard
E Palmer, 2005:226-227).
DAFTAR
PUSTAKA
Gadamer, Hans George, 1976, Philosophical Hermeneutics, University of California Press Los Angeles United States of America.
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa: Masalah dan
Perkembangannya, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Muzir, Inyiak Ridwan, 2006, Hermeneutika
Filosofis: Hans Georg Gadamer, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
Palmer, Richard E, 2005 Hermeneutika Teori
Baru Mengenai Interpretasi, penj Musnur Hery,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Poesporodjo, 1987, Interpretasi,
Penerbit Remaja Karya, Bandung.
Weinsheimer, Joel C, 1985 Gadamer’s
Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, Yale University Press, New
Haven and London.
SUMBER LAIN :
Saparie, Gunoto, 2007, ”Hermeneutika Alternatif Tafsir Sastra”,
artikel dalam http://www.suarakarya-online.com/news
Sahiron
Syamsuddin, 2006, ”Integrasi
Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir; Sebuah Proyek
Pengembangan Metode Pembacaan Alquran pada Masa Kontemporer”, artikel dalam http://www.ditpertais.net/Makalah_Syahiron