August
comte memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir
pada tanggal 19 januari 1798 di kota Montpeller di baagian selatan Prancis.
Beliau adalah filsuf dan ilmuan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam
perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi.
Dengan
penuh kesadaran bahwa akal budi manusia terbatas, comte mencoba mengatasi
dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan
penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa
yang sedang Comte bangun, yaitu : 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris
sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut
hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan
datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa
bermanfaat. Keyakinan Comte dalam pengembangan yang dinamakan
positivisme semakin besar, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang
cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat
diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan. Disini comte mengungkapkan
perkembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah
pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa
sebelumnya.
Comte
berpendapat bahwa masyarakat mengalami tiga tahap perkembangan kebudayaan,
yaitu:
1. Tahap
teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan
menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa,
roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan
segala fenomena yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional.
Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang
pertama fetisysme dan dinamise, menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa.
Contohnya, bergemuruhnya guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang dan
lain-lain. Kemudian ada animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman
roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme, sedikit lebih maju dari pada
kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam
berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu
disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap
setiap sawah dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa
mengatakan dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu
kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
2. Tahap
metafisik
Pada tahap ini manusia mengalami
pergeseran cara berpikir. Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar
manusia sebagai akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap
ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan
seperti “alam”. Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
3. Tahap
positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam
atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan
peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Lembaga agama yang
dulunya mengatur segalanya pada tahap ini harus menyerahkan hegemoninya kepada
lembaga-lembaga lainnya sehingga muncullah lembaga-lembaga lainnya. Selainnya
itu muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain.
Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi
lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung
berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih
berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya
menemukan hukum yang mengaturnya
Dalam teori
kebudayaan Van Peursen, perkembangan budaya manusia dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu mitis, ontologis, dan fungsionalis.
1.
Tahap Mitis
Manusia
menganggap bahwa dirinya adalah bagian dari alam. Manusia merasa bahwa dirinya
berada di dalam dan dipengaruhi oleh alam. Hal ini dapat dilihat budaya Indian.
Mereka sering menganggap bahwa diri mereka adalah penjelmaan dari hewan di
sekitarnya. Pada tahap ini, manusia kerap memberikan kurban atau sesaji sebagai
bentuk penghormatannya kepada alam. Manusia juga membuat norma-norma perlakuan
terhadap alam. Sehingga hidupnya selalu selaras dengan alam dan dilindungi oleh
alam itu sendiri.
2.
Tahap Ontologis
Manusia
mulai mengenal agama. Manusia tidak lagi memberikan kurban dan memandang bahwa
alam merupakan sama-sama makhluk Tuhan yang harus dijaga kelestariannya.
Meskipun begitu, manusia sudah mulai menjadikan alam sebagai objek yang bisa
dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya.
3.
Tahap Fungsionalis
Manusia
sudah jauh dari alam. Bahkan, alam tidak hanya sekedar dijadikan objek, tetapi
telah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya nyaman. Tahap
ini ditandai dengan revolusi industri di dunia dan manusia memperlakukan alam
dengan mengeksplorasinya secara berlebihan.
Pustaka:
Bertens. Kees, 1998, RINGKASAN SEJARAH FILSAFAT, Yogyakarta: Kanisius.
Peursen. CA van, 2000, STRATEGI KEBUDAYAAN, Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar