Daisypath Anniversary tickers

Daisypath Anniversary tickers

Selasa, 24 April 2012

21Jump Street

Kemarin setelah nontoin film 21jumpstreet.. ya ku bayangin jika ini film serius.. ehh ternyata kocaknya ngak ketulungan.. dengan bahasa yang tingkat dewa.. mungkin niatnya baik dan bagus tapi film ini agak kurang dari segi cerita atau apapun.
Ada kejutan difilm ini yaitu adanya si ganteng Johnny Deep.. Tapi asli ini film ngocok perut..

SEJARAH ETIKA HANS JONAS “PRINSIP TANGGUNG JAWAB”


Riwayat Hidup
Hans jonas adalah seorang filosof Jerman-Amerika berketurunan yahudi. Jonas studi dibawah bimbingan Husserl, Heidegger, dan Bultmann. Tahun 1933, sewaktu Adolf Hitler mengambil alih kekuasaan, Jonas meninggalkan Jerman dan pergi ke Palestina. Jonas sempat tertarik pada gerakan Zionis, tetapi kemudian meninggalkannya. Jonas pindah ke Kanada pada tahun 1949. Jonas mengajar di Montreal dan Ottawa di Kanada,dan sejak tahun 1955 menetap ke Amerika Serikat. Jonas menerbitkan sebuab buku yang berjudul Das Prinzip Verantwortung. Tlersuch einer ethic fur the teclznalogisclze : ivilisation (prinsip tanggung jawab. Percobaan sebuah etika bagi keberadaan teknologis pada tahun 1979.
Jonas mengembangkan etikanya dengan melihat seluruh sejarah filsafat barat sebagai berikut:
1.      Keadaan manusia, ditentukan oleh kodrat manusia dan kodrat realitas, pada hakikatnya tetap untuk selama-lamanya.
2.      Atas dasar keadaan manusia ditentukan oleh kodrat manusia dan kodrat realitas maka, apa yang baik bagi manusia dapat ditentukan dengan gampang dan jelas.
3.      Jangkauan tindakan manusia, dan karena itu tanggung jawab manusia amat terbatas.
Menurut Jonas, pengandaian-pengandaian ini tidak berlaku ladi di masa ini, dan oleh karena itu kita membutuhkan sebuah etika yang baru.
PEMIKIRAN HANS JONAS
Etika Tradisional
Jonas melihat bahwa etika tradisional tidak lagi mencukupi untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan di mana teknologi menjadi suatu bagian yang sangat menentukan kehidupan manusia. Teknologi telah mengamplifikasi semua perbuatan manusia yang belum pernah dibayangkan oleh etika tradisional. Manusia mengeksploitasi alam demi keuntungannya sendiri dengan teknologi yang diciptakannya,. Sebagai contoh, mesin chainsaw menebangi hutan; mesin dongfeng untuk mengeruk emas yang ada di perut bumi. Revolusi Industri tidak bisa melihat efek pencemaran lingkungan yang akan disebabkan olehnya sebagai akumulasi beberapa abad kemudian. Kemajuan teknologi pengobatan juga tidak bisa melihat akibat ledakan penduduk karena membaiknya angka harapan hidup. Teknologi pertanian yang menaikkan produktivitas pangan telah membawa masalah bagi kesehatan umat manusia. Kemajuan teknologi, di satu sisi, memang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah, namun di sisi lain kemajuan itu telah membuat alam rusak. Sistem finansial yang membawa pada kemakmuran ternyata sangat rentan dan memiliki dampak yang sangat besar bagi masyarakat terutama yang paling miskin, jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Siapa yang bermodal, dialah yang menguasai ekonomi, politik dan teknologi. Manusia yang tidak punya modal akan semakin tergusur dan terjepit. Jumlah orang miskin pun semakin bertambah. Generasi-generasi kita ke depan terancam. Dalam situasi seperti ini, etika tradisional, yang hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam lingkungan dekat dan sesaat, tidak memadai lagi. karena itu kita membutuhkan sebuah etika yang baru, yang menuntut tanggung jawab akan masa depan.
Etika baru Jonas ini melawan etika deontologis yang menjamin selama manusia mendasarkan tindakan pada prinsip-prinsip etis, maksud baik misalnya yang akan menjamin kebaikan. Jonas melihat bahwa ini tidak memadai, maksud baik tidak menjamin kebaikan di masa datang, karena manusia tidak sempurna, manusia tidak bisa memahami seluruh konsekuensi dari tindakannya, baik dalam skala ruang maupun waktu.
Heuristika Ketakutan
Etika Jonas berangkat dari heuristika ketakutan. Heuristika ketakutan adalah membayangkan sebuah konsekuensi di masa depan, seraya menumbuhkan perasaan sesuai dengan yang kita bayangkan tersebut. Hanya dengan cara seperti ini, menurut Jonas, kita bisa menghadirkan sebuah etika di dalam dunia sekarang ini.
Untuk itu Jonas merinci empat prinsip umum etikanya:
1.      Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi.
2.      Bertindaklah sedemikan rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu tidak sampai merusak kemungkinan-kemungkinan kehidupan manusia dimasa depan.
3.      Jangan membahayakan syarat-syarat kelestarian kehidupan tak terbatas umat manusia di bumi.
4.      Dalam pilihanmu sekarang dan keutuhan manusia mendatang harus menjadi bagian dan tujuan kehendakmu.
Dengan demikian, ramalan negatif akan masa depan yang buruk harus didahulukan, meskipun ramalan itu belum pasti. Manusia bisa hidup jika ramalan yang baik tidak terwujud, namun manusia jelas tidak bisa hidup kalau ramalan yang buruk terjadi, sekecil apa pun probabilitasnya. Mendahulukan ramalan yang baik dengan mengesampingkan ramalan yang buruk, apalagi yang mempertaruhkan seluruh umat manusia, secara etis tidak dapat dibenarkan. Manusia dapat hidup tanpa keuntungan tertinggi, tetapi tidak dengan keburukan tertinggi.
Jonas kemudian menunjukkan bahwa etika tradisional juga belum mencukupi untuk membela kepentingan umat manusia di masa datang. Yang pertama, di dalam etika tradisional, manusia bertanggung jawab terhadap subjek yang ada, tetapi terhadap subjek yang belum hadir, etika tradisional diam. Etika masa depan justru menuntut manusia juga untuk bertanggung jawab atas subjek yang belum hadir itu. Yang kedua adalah prinsip timbal balik dalam keadilan berdasarkan persamaan hak yang biasa berlaku dalam etika tradisional. Etika tradisional juga tidak berlaku di sini. Tidak ada timbal balik dalam hal tanggung jawab akan masa depan. Masa depan tidak bisa membalas kebaikan masa lalu, mereka hanya merasakan akibat darinya. Jonas menunjukkan bahwa ini justru adalah kekuatan etika tanggung jawab, yaitu etika tidak bersifat timbal balik.
Pemahaman atas pembelaan Jonas terhadap masa depan, manusia harus memahaminya dari sebuah kalimat bahwa “apa yang ada, memang sebaiknya ada.” Ini mengacu pada kehidupan. Karena kehidupan itu ada, maka manusia harus dipertahankan. Untuk menyadari bahwa sesuatu itu ada dibutuhkan suatu refleksi, dan dari seluruh makhluk hidup hanya manusialah yang sudah sampai pada titik ini. Oleh karena ia telah sadar bahwa kehidupan itu ada, maka tanggung jawab untuk melestarikan seluruh kehidupan jatuh kepadanya.
 Jonas dengan menggunakan teori evolusi menjelaskan bahwa kehidupan adalah sebuah puncak dari evolusi anorganik. Kehidupan telah hadir maka, kehidupan harus dipertahankan. Begitu kehidupan hadir, maka manusia lahir dengan dorongan untuk mempertahankan dirinya. Dorongan ini begitu primordial bagi kehidupan dan mewarnainya. Keanekaragaman alam yang merupakan proses evolusi juga menunjukkan bahwa keanekaragaman kehidupan itu memang ada, dan alam juga harus dipertahankan.
Jonas kemudian melihat adanya keterarahan dalam evolusi, dengan manusia sebagai hasil evolusi tertinggi. Kesadaran, buah evolusi dalam manusia yang adalah puncak dari evolusi juga harus dipertahankan. Kesadaran ini menuntut tanggung jawab, dengan pengandaian, semakin tinggi derajat di dalam ekosistem, semakin besar tanggung jawabnya. Alam yang tidak berdaya tidak membalas perbuatan kita, justru itu alam semakin menuntut manusia untuk bertanggung jawab kepadanya.
Tanggung Jawab akan Masa Depan
Immanuel Levinas juga merumuskan etika tanggung jawab, tetapi etika tanggung jawab Levinas berhenti pada orang lain yang muncul di hadapan kita. Levinas Telah merumuskan sangat baik mengapa kita harus bertanggung jawab pada orang lain. levinas mengacu pada pengalaman primordial. levinas berhenti di situ dan tidak bisa menjelaskan keadilan. Keadilan yang adalah sebuah ide hasil refleksi seperti berada di luar jangkau Lévinas, karena keadilan berhubungan dengan “banyak” yang lain.
Etika tanggung jawab Jonas memperlihatkan bahwa bertanggung jawab pada orang lain ini belum cukup. Tanggung jawab tidak berhenti di situ. Tanggung jawab juga meluas pada subjek di masa depan yang belum lahir. Untuk itu Jonas memperluas etika tanggung jawab dari Lévinas dengan bukan saja menjadikan pertemuan manusia dengan orang lain sebagai tanggung jawab. Jonas menjadikan pertemuan dengan “orang lain yang belum lahir” juga sebagai tanggung jawab manusia. Tanggung jawab manusia bukan hanya pada orang lain secara langsung, melainkan tanggung jawab akan kelestarian seluruh spesies umat manusia. Subjek masa depan ini malah lebih tidak berdaya dari muka telanjang yang hadir di muka manusia sekarang. Subjek masa depan memanggil manusia untuk tidak mengacuhkannya apalagi membunuhnya; Subjek masa depan memanggil manusia untuk bertanggung jawab atas mereka.
Jonas juga memperkuat etika tanggung jawab Lévinas dalam hal ketimbalbalikan. Jonas menunjukkan bahwa kekuatan etika tanggung jawab justru adalah di saat tanggung jawab tidak timbal balik. Kehadiran subjek di hadapan manusia yang menuntut tanggung jawab, menuntut manusia tanpa untuk berpikir akan adanya timbal balik. Jonas juga memperluas etika tanggung jawab Lévinas tidak hanya pada yang lain sebagai manusia melainkan seluruh alam. Alam hadir di hadapan manusia juga sebagai yang lain dan yang total. Alam tidak berdaya, dan manusia bisa membunuhnya. Alam hadir juga menuntut supaya manusia bertanggung jawab atas dirinya, sama seperti manusia bertanggung jawab terhadap manusia yang lain.
Kekurangan Etika Jonas
Etika Jonas bukannya tidak bermasalah. Jonas meninggalkan sebuah pekerjaan rumah, yaitu bagaimana manusia menjalankan tanggung jawabnya tersebut. Pertanyaan ini sulit untuk dijawab karena manusia berada pada tingkat moralitas yang berbeda. Jonas memberikan usulan untuk menjawab masalah dengan kediktatoran. Kediktatoran adalah sebuah hasil refleksi walaupun kediktatoran adalah sebuah kediktatoran yang baik, telah melampaui pengalaman fenomenologis, yang menuntut manusia untuk tidak membunuhnya dan memperlakukan alam sebagai totalitas. Diktator menuntut manusia untuk bertindak keras terhadap yang lain, jika manusia melihat bahwa mereka membahayakan seluruh umat manusia. Di sini jonas dihadapkan dengan prinsip keadilan.
Kelebihan Etika Jonas
Dari pemikiran Jonas ini dapat diketahui bahwa Jonas lebih mengedepankan tanggung jawab terhadap alam. Tanggung jawab bukan hanya pada orang lain secara langsung, melainkan tanggung jawab manusia akan kelestarian seluruh spesies umat manusia.

Sumbangan Bagi Indonesia
Sumbangan pemikiran Hans Jonas dapat diaplikasikan dalam bidang pertanian. Yaitu pembuatan pestisida alami. Dengan pestisida ini diharapkan tanaman yang akan dikonsumsi manusia tidak berbahaya begitu juga untuk kesehatan tubuh manusia, sehingga proses evolusi berlangsung dengan baik. Selain itu pestisida ini tidak mencemari udara dan lingkungan.
Sumbangan pemikiran Jonas dalam Arsitektur adalah saat perencanaan pembangunan sebuah bangunan yang memiliki bukaan atau sirkulasi udara yang cukup banyak dan baik, sehingga meminimalkan penggunaan AC yang dimana penggunaan ini dapat merusak lapisan ozon di bumi. Selain itu, pada perencanaan tata kota diperluas dan diperbanyak ruang terbuka atau ruang hijau yang dapat membantu penyaringan udara bersih.
Sumbangan pada bidang penggunaan bahan bakar minyak pada kendaraan dan juga pada listrik diberlakukan pembatasan. Karena jika tidak dibatasi maka, Bahan bakar yang ada di dalam bumi akan habis, sehingga akan menyengsarakan manusia yang akan datang. Perlu adanya energi pengganti yang dapat menggantikan bahan bakar yang ada sekarang, dan pengganti ini haruslah yang memiliki sifat ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Magnis-Suseno, Franz. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta:Kanisius, 2000
Sjursen, Harol P. Hans Jonas on “Responsibility” 2003. http://homepage.mac.com/haroldsjursen/Jonas_Responsibility.htm. diakses tgl 23 maret 2012 pukul 14:18.

HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER

Biografi Singkat.
          Hans Georg Gadamer lahir di kota Marburg, Jerman pada 11 Februari 1900. Ia anak dari seorang ahli kimia farmasi, seorang Privatdozent di Universitas Marburg, bernama Dr. Johannes Gadamer (1867–1928) pernah diminta untuk menjadi profesor luar biasa di universitas Breslau, yang memiliki sikap tegas, keras dan penuh disiplin dalam setiap keadaan dengan berkarakter budaya Prusia. dan ibunya bernama Emma Caroline Johanna Gewiese (1869–1904) seorang ibu rumah tangga penganut Protestan yang taat dan konservatif, yang berhati lembut dan memiliki sikap yang penuh puitis. Walaupun dibesarkan dalam keluarga akademisi dan Protestan yang taat, Gadamer memilih mundur atau bungkam jika ditanyakan mengenai imannya.
( http://hendar2006.multiply.com/journal)
Ayahnya, Johanes Gadamer, yang memiliki sikap disiplin yang kuat dan sebagai seorang akademisi terpandang, menginginkan anaknya untuk melanjutkan perjalanan akademisinya sebagai ilmuwan eksak. Namun, Gadamer Yunior lebih tertarik pada kajian ilmu-ilmu humaniora, khususnya sastra dan filologi. Tentunya keinginan Johanes Gadamer sangat bertolak belakang dengan kemauan Gadamer yunior. Namun, keinginan Gadamer yunior untuk menekuni ilmu-ilmu  humaniora akhirnya dapat terwujud.
Masuknya Gadamer ke dalam ilmu Non eksak, membuat Johannes mencemaskan nasib dan masa depan anaknya. Tidak ingin berlarut dalam kecemasan, Johanes mendatangi Martin Heiddeiger, rekan sejawat profesor di kampus yang sama dan sedang naik daun ketika itu dengan sebuah karyanya yang monumental yaitu Being and Time, perihal nasib dan masa depan anaknya. Dengan ringan dan santai, Heidegger menjawab,”Kenapa anda harus cemas, saya yakin anak anda akan sukses. Lagi pula, dia setahun lagi akan tamat “. Meski dijawab seperti itu, tidak membuat Johannes lega akan masa depan anaknya, justru ia semakin diliputi dengan keraguan yang sangat dalam,
Johannes mengeluh kepada Heidegger, ia berujar,”Ya, tapi apakah anda benar-benar yakin filsafat dapat membuar dapur seseorang tetap berasap?’. Kekhawatiran yang dialami Johannes justru membuat masa depan anaknya semakin gemilang, sebab di kemudian hari entah kebetulan atau tidak, rekan sejawatntya tersebut menjadi guru sekaligus sahabat yang paling menentukan dalam karier Gadamer sebagai filosof.
Kekahawatiran Johannes ketika itu sangat beralasan dengan kondisi masyarakat Jerman ketika itu. Dimana, semangat modern sedang berada di titik balik, teknologi menjadi dewa serta teknik menjadi keyakinan umum. Apa yang dicita-citakan masyarakat ketika itu adalah kemajuan dan kemakmuran dalam segala bidang. Di tengah suasana dan kondisi kebudayaan seperti itu, keinginan untuk mendalami ilmu-ilmu humaniora, seperti filsafat ataupun filologi, terkesan sebagai langkah surut dan tidak efisien dan dinilai sangat kurang dalam memberikan kontribusi untuk kemajuan dan kemakmuran.
Perjalanan Gadamer dalam dunia filsafat khususnya heurmeneutika, mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul,”Explication of Kant’s Critique of Pure reason” sebagai pengantar studi sastra Jerman. Gadamer sangat terpukau dengan retorika sang profesor, sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika yang indah pastilah terdapat substansi filosofis”.
            Tidak dapat diketahui secara pasti, apakah hidup yang dijalani Gadamer selama lebih dari satu abad adalah sebuah kehidupan yang ia dambakan yaitu sebuah kehidupan heurmeneutis. Namun, terdapat beberapa catatan ringkas akan kehidupan pribadi Gadamer bagi pembicaraan heurmeneutis. Pertama,  Gadamer diliputi dengan persoalan kebenaran yaitu Gadamer memilih bungkam ketika ditanyai mengenai persoalan keimanan. Di mana ia hidup dalam keluarga protestan yang sangat taat, namun dengan begitu tidak membuat Gadamer terpengaruh dengan ketaatan keluarganya, ia justru memilih bungkam atau lebih tepatnya ia bersikap gnostik, terhadap persoalan ini. Gadamer lebih mengakui kedahsyatan sejarah bagi manusia daripada mengakui dogma-dogma agama tentang suatu realitas Maha Kuasa yang mengendalikan sejarah. Namanya melambung dengan persoalan keimanan, sebab mengundang tanya mengenai perihal keyakinan religius Gadamer. Kedua, minat Gadamer terhadap ilmu-ilmu humaniora secara umum merupakan anti tesis dari kajian ayahnya yang sangat ketat bagaikan rumus-rumus kimia yang mengajarinya. Truth and Method, adalah salah satu karya Gadamer yang sangat terkenal adalah merupakan resistensi ala Freudian antara proyek intelektual Gadamer dengan pandangan ayahnya terhadap Geisteswissenschaften. Ketiga, sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah sosok yang enak diajak untuk bekomunikasi, bercengkrama dengan siapapun. Dikisahkan oleh Jean Grondin yang menyaksikan sendiri bahwa Gadamer ketika itu melakukan percakapan dengan para mahasiswa dari berbagai penjutu dunia. Mereka melakukan percakapan santai, nyaman dan mampu mewujudkan sebuah komunikasi ibarat dua orang sahabat. Padahal ketika itu, ia sudah memasuki usia kepala sembilan. Terlihat dalam karyanya, Truth and Method, yang bertuliskan perilakunya sehari-hari yang sangat terbuka dalam berdialog, dan ia sering dipandang oleh para kritikus sebagai seorang yang sangat konservatif. (Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis: Hans Georg Gadamer, 2006, Ar-Ruzz Media hal 40)
Gadamer dianugerahi usia panjang, yaitu 102 tahun. Rentang usianya yang lebih dari satu abad ini sungguh merupakan berkat tersendiri bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu filsafat. Seluruh rentang tahun di abad ke-20 merupakan bahan mentah kajian refleksi dan pemikiran filsafatnya, sebab abad ke-20 bisa dikatakan sebagai abad yang kental diwarnai keterlibatan orang-orang Jerman. Dapat disebut saja beberapa tahun penting dalam sejarah dunia yang dilibati orang (dan bangsa) Jerman: 1914, 1918, 1933, 1945, dan 1989. Gadamer adalah saksi hidup yang mengalami dan merefleksikan semua tahun-tahun penting ini dalam masa hidupnya. Akan tetapi, setiap awal pasti menyimpan pada dirinya sebuah akhir. Pergulatan “mengada” Gadamer di dunia ini diakhiri dengan serangan jantung. Ia meninggal pada 13 Maret 2002 di rumah sakit Universitas Heidelberg (Jerman). Jenazahnya dimakamkan di kota Heidelberg. ( http://hendar2006.multiply.com/journal)

Pemikiran Heurmeneutika Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer dalam menyumbangkan sebuah pemikirannya terhadap hermeneutika yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filsafat Martin Heidegger. Gadamer melanjutkan implikasi kontribusinya Heidegger terhadap Hermeneutika yaitu pada  “Being and Time”. Hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh oleh Gadamer ke dalam kata “linguistik” dengan sebuah pernyataan kontroversialnya yaitu, “Ada (Being) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hermeneutika adalah pertemuan dengan ada (Being) melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia itu sendiri dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa yang ada, pemahaman, sejarah, ekssitensi, dan realitas. Oleh karena itu, hermeneutika diletakkan dalam pusat persoalan filosofis; yang tidak bisa lari dari persoalan epistemologis ataupun ontologis.  (Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, penj Musnur Hery, Pustaka Pelajar, 2005, hal 47.)

Karya Gadamer Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) memuat pokok-pokok pikirannya tentang hermeneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh obyek ilmu sosial dan humaniora. Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat porsi perhatian Gadamer yang cukup tinggi dan merupakan obyek utama hermeneutikanya. Kaitannya dengan hal ini, Gadamer mengatakan: “Alles Schriftliche ist in der Tat in bevorzugter Weise Gegenstand der Hermeneutik” (Semua yang tertulis pada kenyataannya lebih diutamakan sebagai obyek hermeneutika). Gadamer dalam karyanya memang tidak memberikan penjelasan, baik secara explisit maupun implisit, tentang metode penafsiran tertentu terhadap teks. Hal itu dikarenakan bahwa dia tidak mau terjebak pada ide universalisme metode hermeneutika untuk semua bidang ilmu sosial dan humaniora, sebagaimana yang pernah digagas oleh Dilthey. Alasan lain ialah bahwa filsafat hanya berbicara tentang ide-ide umum, mendasar dan prinsipil tentang suatu obyek pembahasan, sehingga dia menyerahkan sepenuhnya pembicaraan mengenai metode tertentu kepada setiap ahli bidang ilmu tertentu. Meskipun demikian, teori-teori hermeneutika Gadamer dapat digunakan untuk memperkuat metode pemahaman dan penafsiran suatu obyek tertentu, termasuk di dalamnya teks tertulis.
(http://www.ditpertais.net/Makalah_Syahiron)
Menurut Gadamer, hermeneutika berkaitan dengan pengalaman bukan hanya pengetahuan. Berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Metode dalam pandangannya bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran. Kebenaran akan mengelak jikalau kita menggunakan metodologi, metode menurut Gadamer tidak mampu mengeksplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode. Hermeneutika dialektis membimbing manusia untuk menyingkap kebenaran, serta menemukan hakikat realitas segala sesuatu secara sebenarnya. (Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, hal 209.)
Gadamer mengungkapkan,”Seperti halnya kebenaran, metode adalah pokok dari keseluruhan kebenaran dan metode, dan ia bukanlah suatu topik secara rinci yang menempatkan di dalam bagian manapun. Gadamer tidak memulai dengan metode penjelasan, menyebut satu per satu persangkaan-persangkaannya, atau menekuni dampak-dampaknya. Jika Gadamer tidak memulai atau mengakhiri suatu pendefinisian metode, tetapi ia lebih berlanjut kepada alternatif-alternatif sejarah humanistis yaitu bersifat kemanusiaan tentangnya. Kebenaran dan metode bagaimanapun bisa dihormati dalam bentuk perintah penyajian, tidak bisa disebut suatu demonstrasi yang sitematis yang dapat disebutkan secara spesifik. Ini bukanlah untuk mengatakan, bahwasannya konsepsi metode adalah datang dan jauh tentangnya”. (Joel C Weinsheimer, 1985 Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, Yale University Press, New Haven and London, hal 02.)
Dijelaskan bahwasannya Gadamer ingin menyatakan metode bukanlah sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sebab metode ketidakmampuan mengeksplisitkan kebenaran sendiri. Sehingga yang menjadi persoalan terpenting dalam Truth and Method bukanlah terletak pada kebenaran semata, melainkan pada uraiannya tentang implikasi dari kenyataan bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam universalan “pengalaman hermeneutis”, yang tak lain adalah pengalaman aktual manusia ketika memahami sesuatu. (Inyiak Ridwan Muzir, 2006:100).
Gadamer menuliskan,”Ada yang dapat dipahami adalah bahasa” (Sein, das verstanden werden kan, is sprache)”. Pernyataan ini dapat dikatakan sebagai kesimpulan dari seluruh analisis Truth and Method, bahwa skop pemahaman, oleh karena itu skop hermeneutika, ber-ko-eksistensi dengan universalitas bahasa.
Bagi Gadamer, bahasa adalah realitas yang tidak terpisahkan dari pengalaman, pemahaman, pikiran dan das Sein. Maka bahasa juga tidak pernah dapat ditangkap sebagai faktum atau diperiksa secara empiris. Bahasa adalah prinsip. Bahasa merupakan perantaraan bukan alat. Bahasa juga ditegaskan sebagai cakrawala suatu ontologi heurmeneutik. Meskipun bahasa, menurut Gadamer, merupakan masalah yang paling sukar bagi perenungan manusia, tetapi dalam kenyataannya bahasa begitu luar biasa dekat dengan pikiran kita. (Poesporodjo, 1987, Interpretasi, Penerbit Remaja Karya, Bandung, hal: 109).
Bahasa merupakan medium dan fokus dari heurmeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika adalah contoh paradigmatis dari pemahaman, sedangkan pengalaman hermeneutis adalah eksemplar dari kehidupan di dalam dunia sebagaimana yang disingkapkan bahasa. Bahkan, Gadamer telah menemukan kenyataan bahwa fungsi bahasa sebagai penunjuk barang-barang adalah arah yang terbalik. Titik berangkat seharusnnya dari die sache selbst. Bahasa adalah pengalaman dunia. Manusia hidup di dalam suatu dunia berkat bahasa. Di dalam bahasa, dunia tampil. Pengalaman (welterfahrung) yang bersifat kebahasaan adalah mutlak, melampaui segala relativitas dan hubungan di mana berbagai realitas dapat ada. Gadamer menyatakan,
”...filsafat hermeneutika memahami dirinya sendiri bukan sebagai posisi mutlak sebuah pengalaman, melainkan sebagai jalan pengalaman itu. Hal ini menegaskan bahwa tidak terdapat prinsip yang lebih tinggi dari pada mengusahakan diri tetap terbuka untuk berbicara dengan yang lain”.(Kaelan, 2002:217
Gadamer menyatakan, pengalaman memiliki penggabungan dialektis ”tidak dalam pengetahuan tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang lahir dari ruang bebas pengalaman”. Jelasnya, pengalaman disini tidak dimaksudkan untuk beragam pengetahuan informatif yang menjaga ini atau itu. Dialektika model Gadamer ini terjadi di dalam pengetahuan hermeneutis itu sendiri yang jadi eksemplar dari pengalaman manusia secara umum dengan dunia. Pengalaman hermeneutis terjadi di dalam bahasa dan berlangsung di dalam proses percakapan dengan ”teks” yang hakikatnya adalah linguistik. Untuk mengungkapkan dengan cara lain perbedaan dia dengan filsafat logos, Gadamer merumuskan bahwa dalam dialektika sesuatu telah ”terjadi”, sementara, menurut filsafat logos sesuatu itu ”ditemukan/disingkap” (revealed).
            Misalnya, ketika seorang penafsir mengahadapi suatu teks, atau ketika seorang sejarawan menghadapi tradisi, kedua belah pihak saling bertanya-jawab. Di dalam permainan inilah terjadi dialektika sebuah peristiwa, sehingga disitu ada sesuatu yang terjadi dan muncul. Adapun di dalam filsafat logis, dialektika antara kedua belah pihak dianggap mampu menemukan atau menyingkap sesuatu di dalam dirinya sendiri  (sintesis), kendati sebelumnya sesuatu itu sudah eksis. (Inyiak Ridwan Muzir, 2006:43)
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubyektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak. Karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional. (  http://www.suarakarya-online.com/news)
Gadamer mengembangkan pengertian hermeneutika yang terpusat pada bahasa, bersifat ontologis, dialektik dan spekulatif. Tujuan hermeneutikanya bukan soal metode, bukan membuat aturan-aturan pemahaman yang ”secara objektif sah”, melainkan memahami pemahaman sekomprehensif mungkin. Gadamer mengembangkan ontologi pemahaman menjadi hermeneutika dialektik, menjadi hermeneutika spekulatif yang mempersiapkan dasar filsafat bagi pendalaman yang kritis tentang berbagai konsepsi interpretasi.
Kerangka hermeneutika Gadamer berangkat dari paradigma Heidegger tentang pembalikan ontologis dalam hermeneutika. Namun Gadamer mau bergerak lebih jauh lagi dengan meneliti konsekuensi dari pembalikan itu untuk pemahaman kita tentang ilmu-ilmu humaniora. Dengan belajar dari pendekatan Giambattista Vico (dalam Nuova Scienza) dan neo Aristotelianisme, Gadamer mengkombinasikan pendekatan ontologis-eksistensial Heidegger khususnya tentang pemahaman sebagai bentuk penyingkapan diri dengan ide Bildung (pendidikan dalam kultur). Bentuk penyingkapan diri pengada selalu diantarai oleh bahasa. Manusia adalah pengada dalam bahasa. Lewat bahasalah dunia terbuka dan menyingkapkan dirinya pada manusia. Manusia berupaya mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa. Manusia tidak bisa memahami dirinya, kecuali kalau manusia memahami dirinya tersituasikan dalam budaya yang dimediasi bahasa dan bersifat historis. Bahasa adalah kodrat kedua manusia.
Cara pandang semacam ini punya konsekuensi dalam memahami seni, budaya, dan teks-teks historis. Sebagai bagian dari tradisi, karya-karya historis tidak pertama-tama menghadirkan diri mereka di depan kita sebagai sesuatu yang netral dan objek bebas-nilai (dalam pengertian untuk keperluan investigasi ilmiah). Mereka adalah bagian dari cakrawala yang kita hidupi dan yang lewatnya pandangan kita tentang dunia mendapatkan bentuknya. Dengan kata lain, kita sudah selalu dibentuk oleh karya-karya atau teks-teks historis ini sebelum kita mendapatkan kesempatan untuk mendekatinya dengan tatapan objektif. Inilah yang oleh Gadamer disebut sebagai sebuah pemahaman yang sama (Verstandigung), atau sebuah kesepakatan yang dalam (tiefes Einverstandnis).
( http://hendar2006.multiply.com/journal)


Kritik atas wilayah Estetis
Wilayah lain yang menjadi persoalan hermeneutika yang disoroti oleh Gadamer adalah estetika. Di mana ia mengkritik wilayah estetika dan seni menjadi terpinggirkan dalam geisteswissenschaften. Di wilayah inilah yang menjadi keunikan Truth and Method, sebab menganalisis seni dan estetika adalah sebagai titik tolak tentang pemahaman secara umum. Gadamer mengatakan dalam bukunya,” Pengalaman dari  seni adalah sebagai pengingat yang paling penting kepada kesadaran yang paling ilmiah untuk mengizinkan batas-batasnya...,Gadamer melebihi dalam ilmu keindahan, dapat dilihat, dalam beberapa jalan saling tergantung satu sama lain: Pertama, kesadaran akan keindahan lebih dari mengetahui diri sendiri; Kedua, yang lebih yaitu di mana yang intim dihubungkan dengan suatu jalan seni karya yang baik (Seinsweise). Ketiga, yang ada dalam seni dan estetika dapat memberikan kesadaran yang terbaik untuk memahami arti konsep humanistis (bersifat kemanusiaan) dari estetika yang memperoleh tetapi secara palsu dibatasi dalam proses. (Joel C Weinsheimer, 1985:66)     
Berdasarkan definisi, humanisme adalah paham filosofis yang memuliakan nilai dan martabat manusia serta menjadikannya sebagai patokan dari segala sesuatu; atau bisa juga diartikan sebagai aliran filsafat yang menjadikan hakikat, batas, minat, dan kepentingan manusia sebagai tema utamanya. Humanisme menjadi tema penting dalam pemabahasan Gadamer ketika ia mengkritik seni dalam Truth and Method.
Menurut Gadamer, konsep kesadaran estetika dalam perbedaannya dan pemilahannya dari bidang ”non estetika” pengalaman, relatif, bersifat modern. Namun pada kenyataannya konsep ini merupakan suatu konsekuensi dari pensubjektivikasian secara umum terhadap pemikiran sejak zaman Descartes, suatu kecenderungan untuk memberikan landasan seluruh pengetahuan pada ketentuan subyektif. Berdasarkan konsepsi ini, subyek yang merenungkan obyek estetis merupakan suatu kesadaran kosong yang sedang menerima persepsi dan terkadang menikmati keberlangsungan bentuk inderawi yang murni. Dengan demikian, ”pengalaman estetis” bersifat terpisah dan dari terputus yang lainnya, ia merupakan bidang yang bersifat lebih pragmatis; ia tidak dapat diperkirakan dalam hal ”kandungan” nya, karena ia merupakan suatu respon yang muncul. Pengalaman estetis tidaklah menghubungkan dirinya dengan pemahaman diri akan subyek, atau waktu; ia dipandang sebagai suatu momen a-temporal tanpa adanya acuan terhadap yang lainnya kecuali dirinya sendiri. (Richard E. Palmer, 2005:196)
Kritik estetika yang dilancarkan Gadamer sebenarnya ingin membuktikan bahwa pengalaman estetis memiliki klaim kebenarannya sendiri yang tidak akan tertanggulangi oleh metode diferensiasi estetis Kantian (pemilahan ganda). Kritik ini menjadi signifikan sebagai landasan prinsipil bagi pembicaraan sebagai landasan utama  Geisteswissenschaften.
Karya seni hanya akan eksis ketika dia dialami (experienced). Namun, pengalaman ini bukanlah pengalaman tentang suatu subjek akan sebuah objek. Karena di di sini subjek tidak lagi menjadi dirinya seperti sebelumnya, dan karena perubahan ini terjadi justru seperti sebelumnya, dan karena perubahan ini terjadi perubahan justru akibat karya yang tidak objektivikasi. Maka, karya seni baru menjadi karya seni ketika dia tidak lagi menjadi objek bagi subjek, akan tetapi keduanya disatukan. Karya seni adalah permainan karya tersebut. Jadi, kritik estetika yang diajukan Gadamer pada pemilihan ganda, karena pemilihan ini membuat karya seni jadi barang yang asing dan mati.
Karya seni benar-benar mengetengahkan sebuah dunia kepada manusia, di mana manusia tidak perlu mereduksinya ke dalam pemikiran atau prakiraan-prakiraan yang bersifat metodologis. Namun manusia hanya memahami dunia ini karena telah berpartisipasi dalam struktur pemahaman diri yang membuatnya menjadi kebenaran bagi manusia itu sendiri. Seniman memiliki kekuatan untuk metransformasikan pengalaman  keberadaannya ke dalam suatu imej atau bentuk. Sebagai suatu bentuk ia menjadi abadi, dan perjumpaan dengan bentuk tersebut akan bersifat terbuka bagi generasi-generasi selanjutnya, dapat diulangi terus-menerus.  (Richard E Palmer, 2005:196)
Apa yang menjadi sentral pengalaman estetis sebuah karya seni bukanlah pada kandungan atau bentuknya namun pada maknanya, totalitas telah digiring ke dalam suatu imej dan bentuk, sebuah dunia dengan dinamikanya sendiri. Dengan demikian dalam perjumpaan estetik dengan sebuah karya seni seseorang tidaklah berupaya untuk memisahkan puisi dari materi-materi bakunya, tidak pula dalam pengalaman menjumpai suatu penampilan dari karya seni seseorang secara terus menerus memilah makna sesuatu dari penampilan itu (Richard E Palmer, 2005:200). Gadamer mengajukan sesuatu yang merepresentasikan hal yang lebih jauh bersifat merusak dari akibat pemilahan, terhadap estetika. Terhadap paham ketidakbertempatnya seni ketika dipandang dalam sinaran ”kesadaran estetis”, gadamer mengajukan gagasan akan seni sebagai keberadaan dekoratif. Seni tidaklah bertempat. Ia menghajatkan suatu tempat dan mencipta dari tempat itu sendiri sebuah tempat yang terbuka. Karya seni sebenarnya bukanlah milik museum, yang dikumpulkan secara bersamaan dalam suatu tempat yang tidak bertempat. Ada suatu kebutuhan yang terbatas, ujar gadamer, untuk mengubah konsepsi seni yang telah menggaung pada abad-abad terakhir dan ”konsep representasi di mana galeri-galeri modern menjadikan manusia lebih dekat dengan karya seni tersebut”. Gadamer mengatakan manusia harus merehabilitasi elemen dekoratif dan temporal yang telah diabaikan oleh estetika yang didasarkan pada ”bentuk murni” atau ”ekspresi pengalaman”. Seni meruang dan mewaktu.”Hal pertama yang harus dijadikan agenda adalah menemukan suatu cara untuk membalikkan suatu horizon yang mencakup baik seni dan sejarah secara bersamaan”.
Gadamer mengatakan.”seni tidak ”merepresentasikan” sesuatu yang diharapkan muncul dalam keberadaan; juga jelasnya terdapat sebuah dunia yang terbuka. Pandangan akan estetika yang menegaskan gagasan tentang ”estetika murni” tidak akan mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, dan paham-paham estetika yang berdasarkan pada pengalaman makna term yang lebih lama juga tidak memadai. Keduanya bergerak dari premis yang salah dalam mengacu balik karya seni kepada subyek dalam suatu hubungan subyek-obyek. Semuanya tidak berhasil sampai manusia mendapatkan suatu horizon yang mempertanyakan hal-hal tersebut di mana mentransendensikan model skema subyek-obyek yang lama sehingga manusia dapat menemukan suatu cara melalui pemahaman fungsi dan maksud, hal bagaimana dan apa, temporalitas dan ruang dan karya seni tersebut. (Richard E Palmer, 2005:201-202)
Gadamer, dalam teori-teori estetika, melihat adanya kesalahan modern dalam mengacukan segala sesuatu kepada subyektifitas manusia. Dengan ”Permainan” Gadamer tidak mengartikannya sebagai sebuah sikap atau aktivitas kreasi dan menikmati subyek manusia; ia tidak memaknai permainan tersebut dengan ”kebebasan” subyektivitas manusia yang dapat digunakan dalam permainan. Sebalinya ”permainan” mengacu pada cara berada karya itu sendiri. Obyek telaah gadamer tentang permainan dalam kaitannya dengan seni adalah untuk membebaskan permainan tersebut dari kecenderungan tradisional yang mengasosiasikan permainan dengan aktivitas subyek. (Richard E Palmer, 2005:202). Gadamer menyatakan;
Kita telah melihat bahwa sebuah permainan memiliki keberadaannya tidak dalam kesadaran atau aksi para pemain, namun sebaliknya permainan menggambarkan para pemain dengan bidangnya sendiri dan memenuhi para pemain tersebut dengan spiritnya. Pemain mengalami permainan untuk dirinya sebagai sebuah realitas yang memiliki kekuatan. Ini mengaplikasikan secara lebih jauh di mana realitas ini merupakan realitas ”yang dimaksudkan”-dan inilah yang merupakan sesuatu di mana apa yang dimainkan nampak sebagai presentasi bagi para pemirsa.”
Dalam memandang analogi antara karya seni dan permainan, tentunya dalam menjadikan struktur permainan sebagai panduan model struktur yang memilki otonominya sendiri dan bahkan dipentaskan kepada pemirsa. Karya seni tidaklah dipandang sebagai hal statis, tetapi sebagai suatu hal yang dinamis. Pandangan estetika yang terpusat pada subyektivitas ditransendensikan dan strukturnya justru digagas yang memperlihatkan tidak memadainya skema subyek-obyek dalam acuannya kepada pemahaman sebuah permainan, dan dalam penjelasan sebuah karya seni.  (Richard E Palmer, 2005:205).
Gadamer mengatakan, ”the nature of aft, following Hegel, is to present man with himself. …, in art, objects other than man can present the human and the moral—but only reason of their representation. A stunded tree does not of itself express misery, but picture of it can so do. By contrast, a picture of a crippled human body expresses the same misery as does the body itself. In such a case no personification is involved, and hence there is no split of the representation from the represented,”only in the representation of the human form does whole content of the artwork speak to us as the expression of its object as well”. (Joel C Weinsheimer, 1985:84).
 Gadamer menjadikan pengalaman seni sebagai titik awal dan bukti bagi substansiasi penegasan-penegasannya. Ia memperlihatkan bahwa,”kesadaran estetis” tidaklah diderivasi dari hakikat pengalaman seni, tetapi merupakan suatu konstruksi refleksif yang berdasarkan pada metafisika subyektivis. Pengalamanan inlah yang memperlihatkan bahwa karya seni tidaklah sekedar obyek yang berlawanan dengan subyek yang berdiri sendiri. Karya seni memiliki keberadaan otentiknya dalam kenyataan, dalam menghadirkan pengalaman, bahwa ia metransformasikan orang yang mempunyai pengalaman tersebut; karya dari karya seni, ”Subyek” pengalaman seni, sesuatu yang ada sepanjang waktu, bukan merupakan suatu subyektifitas seseorang yang berhadapan dengah karya; ia merupakan karya itu sendiri. Begitu halnya permaianan, ia memiliki hakikatnya sendiri bebas dari kesadaran orang memainkannnya. Gadamer telah menemukan sebuah model yang tidak hanya memperlihatkan kejatuhan estetika yang tersubyektivasi tetapi juga memperlihatkan seseuatu yang dapat dijadikan sebagai basis substansiasi karakter dialektiktis dan ontologis heurmenetikanya sendiri. (Richard E Palmer, 2005:206)
Sampai saat ini, kritik-kritik baru hanya mempertahankan otonomi karya seni dalam hal pengurangan relevansinya. Sikap atas mempertahankan atas puisi mereka sekedar mengingatkan kita bahwa puisi dan penyair tidak lagi mempunyai tempat dalam masyarakat. Dewasa ini pendekatan ”obyektif” yang murni dari Gadamer, yang secara pasti membebaskan interpretasi dari estetika mitos dan estetika yang tersubyektivasi –terutama dikotomi subyek mitos dan dikotomi bentuk –isi—masih mempertahankan karya sastra yang terpisah dari opini dan perilaku kreatif pengarang, dan dari kecenderungan untuk menjadikan subyektivitas pembaca sebagai sebuah titik awal. Kritk baru terkadang memperbincangkan ”kandungan” keberadaan karya; dalam hal ini mereka sebenarnya sejalan dengan Gadamer. (Richard E Palmer, 2005:206)
 Pandangan gadamer atas kritiknya terhadap wilayah seni berkemungkinan memberdayakan manusia untuk melihat lebih jelas hakikat kesinambungan antara pemahaman diri yang diperoleh dari sastra dan pemahaman diri di dalam sepanjang manusia itu eksis. Secara khusus Kritik Baru telah mampu melalui pemikiran Gadamer untuk merenggut historisitas sastra. Kritik Gadamer atas wilayah seni ini akan lebih jelas setelah memahami atas konsepsi sejarah umum dan konsepsi historisitas yang telah diketengahkan. (Ibid.).

Kritik Historis
Gadamer mendefinisikan teori ini sebagai berikut:
Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein ist zunächst Bewusstsein der hermeneutischen Situation. Die Gewinnung des Bewusstseins einer Situation ist aber in jedem Falle eine Aufgabe von einer Schwierigkeit. (…) Die Situation stellt einen Standort dar, der die Sichtmöglichkeit beschränkt, in Form eines Horizontes.  
[“Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein adalah pertama kesadaran terhadap situasi hermeneutik. Namun, mendapatkan kesadaran terhadap sebuah situasi bagaimanapun merupakan tugas yang sulit. ..., Situasi tersebut merupakan posisi yang membatasi kemampuan melihat sesuatu; situasi ini berbentuk horison [atau: cakrawala pemahaman].
 Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyogyanya  sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut Gadamer mengatakan: “Seseorang [harus] belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari Wirkungsgeschichte (affective history; “sejarah yang mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran.” Mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh Gadamer. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subyektifitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks. ( http://www.ditpertais.net/Makalah_Syahiron).
Di sisi lain, Gadamer juga mengkritisi wilayah historis yaitu pemilahan ganda yang analog juga terjadi kesadaran historis yang berakar pada neo-Kantianisme. Ini terlihat dalam Geisswissenschafften yang berusaha menceraikan peristiwa sejarah dari konteks dan pelakunya. Kritik Gadamer terhadap kesadaran historis bertolak dari pemikiran hermeneutis Heidegger yang ingin memperlihatkan bahwa pemahaman adalah Way of Being dan hakikatnya adalah temporal. Kesimpulan ini lahir dari dari analisisnya tentang temporalitas Dasein. (Inyiak Ridwan Muzir, 2008;131).
Kritik historis yang diarahkan oleh Gadamer mendasari apa yang diketengahkan oleh Heidegger adalah temporalitas pemahaman. Hal yang disoroti oleh Gadamer yaitu bukan lagi sekedar Da (di sana) Dasein, tapi ”kemungkinan-untuk-mengada-secara menyeluruh” (Ganzseins-konnen) yang diwujudkan dalam tiga ekstase perhatian temporal. Gadamer kemudian ”meneliti berbagai akibat yang diterima oleh hermeneutika dari kenyataan bahwa Heidegger menurunkan struktur sirkular pemahaman ini dari temporalitas Dasein”., karena Heidegger sendiri tidak mengacuhkan persoalan ini, yang tanpa diduga mungkin akan memerosokkan manusia kembali pada tema kritik sebagaimana persoalan epistemologi dan metodologi murni, padahal inilah yang akan diabaikan.
Di lapangan sejarah, pemahaman historis sesungguhnya adalah upaya pencapaian kesepahaman tradisi masa lalu dan tradisi masa kini-tentang satu pokok persoalan. Masa lalu tidak diperlakukan sebagai objek dalam dirinya sendiri, akan tetapi dipahami ”dalam hubungan” dengan masa sekarang. Oleh karena itu, pemahaman sesungguhnya bukanlah soal memahami orang lain,”masuk kedalam kepala orang lain”, apakah itu pengarang teks, teman dialog, atau perilaku peristiwa di masa lalu, sebagaimana yang diyakini hermeneutika Romantis, melainkan soal menemukan dan mencapai pemahaman ”di antara” kedua belah pihak tentang suatu pokok masalah. Wilayah antara inilah yang sesungguhnya menjadi lokus hermeneutika.  
Hermeneutika gadamer dan kritiknya atas kesadaran sejarah menegaskan bahwa masa lalu tidak seperti sebuah tumpukan kenyataan yang dapat dijadikan sebuah obyek kesadaran, namun lebih sebagai sebuah arus di mana manusia sebagai bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Dengan begitu, tradisi bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan manusia namun merupakan sesuatu di mana manusia berdiam diri dan sepanjang manusia itu eksis; dalam kiasan yang sangat terkenal ia bersifat sangat transparan sebagai sebuah mediasi yang seolah-olah tidak terlihat pada manusia-sebagaimana tidak terlihatnya air bagi ikan. (Richard E Palmer, 2005:208)
Kritik ”kesadaran sejarah” baik dalam pemikiran Gadamer maupun Heidegger terutama ditujukan kepada ”mazhab historis” di Jerman, di mana wakilnya yang sangat terkenal pada abad ke 19 adalah J.G. Droysen dan L. Von Ranke. Para pemikir ini mengetengahkan suatu ulasan tentang ”hermeneutika romantis”. Meskipun begitu, hermeneutika model ini tidak seharusnya disalahtafsirkan sebagai romantisasi sejarah dalam gaya Sir Walter Scott, namun sebaliknya sebagai upaya yang sangat serius dalam sejarah ”obyektif”. Tugas sejarawan bukanlah menginjeksi perasaan pribadinya ke dalam sejarah, melainkan masuk secara total ke dalam dunia sejarah di mana ia ingin memberi suatu pemahaman. (Richard E Palmer, 2005:200)
Gadamer menyatakan sejarah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Gadamer mengistilahkannya Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (effectivehistorical consciousness/efek kesadaran sejarah). Jadi, Gadamer tidak memandang sejarah sebagai sesuatu objek, pasif dan dapat diinvestigasi, seperti pendapat Dilthey. Bagi Gadamer, manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Manusia sudah berada di dalam dunia. Wujud di dunia adalah eksistensi manusia. Oleh sebab itu, dunia tidak dapat diobjektifikasikan. Metode ilmiah sebagaimana yang dikembangkan sejak periode Pencerahan (Enlightenment) keliru, karena ingin memisahkan antara manusia sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Jadi, efek kesadaran sejarah adalah kondisi yang non-objektifikasi. Sekalipun begitu, kesadaran yang non-objektifikasi selalu mengiringi proses pemahaman. Gadamer menyatakan “a nonobjectifying consciousness always accompanies the process of understanding.”
 Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia sebenarnya telah ada sebelum manusia mulai memahami. Oleh sebab itu, menurut Gadamer, pemahaman adalah kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis manusia. Pemahaman adalah persoalan ontologis. Gadamer menolak pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menganggap penafsiran sebagai aktifitas para penafsir dan merupakan persoalan metodologis. Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai epistemologis karena hermeneutika merupakan seni untuk menghindari kesalahpahaman. Padahal dalam pandangan Gadamer, kesalahpahaman mengasumsikan sebelumnya adanya kesepakatan umum (a common accord/agreement/Einverständnis) tentang bahasa yang umum dan wawasan kebudayaan (a common linguistic and cultural horizon). 

Bagi Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi seperti yang dipahami oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi mediasi (Understanding is not reconstruction but mediation). Kita adalah penyampai masa lalu kepada masa sekarang. Pemahaman pada esensinya tetap merupakan sebuah mediasi atau penerjemahan makna masa lalu ke dalam situasi sekarang. Jadi, Gadamer menekankan secara khusus bukan kepada aplikasi metode oleh subjek, tetapi kepada kesinambungan sejarah yang merupakan medium yang melingkupi setiap tindakan subjek dan objek-objek yang ia pahami. Pemahaman merupakan sebuah peristiwa, sebuah gerak sejarah tersendiri yang baik penerjemah ataupun teks tidak dapat difikir sebagai bagian-bagian yang otonomi. Inti pemahaman bukanlah difikirkan kebanyakannya sebagai tindakan subjektifis, tetapi sebagai masuknya ke dalam peristiwa transmisi yang masa lalu dan masa sekarang dimediasikan secara konstan. (Hans George Gadamer, 1976, Philosophical Hermeneutics, University of California Press Los Angeles United States of America, xvi.)

            Gadamer memaknai pemahaman sebagai saling memahami. Jadi, pemahaman merupakan upaya bersama. Pemahaman selalu upaya untuk mengerti tentang sesuatu. (understanding means understanding one another. Understanding first of all having come to a mutual understanding. Understanding is always coming to an understanding about something). Konsep saling memahami terabaikan dalam pemikiran Schleiermacher. Dalam pandangan Gadamer, konsep pemahaman dalam pemikiran Schleiermacher adalah pemahaman seseorang terhadap yang lain. Bagi Gadamer, konsep pemahaman seperti ini adalah konsep satu arah (unilateral). (Joel C Weinsheimer, 1985:137.)
Pemahaman sejarah tidaklah terletak dalam totalitas penyingkiran, pengalaman diri seseorang, akan tetapi terletak di dalam kesadaran bahwa seseorang tersebut merupakan sebuah kesadaran sejarah; terutama ia terletak dalam partisipasi umum seseorang dengan lainnya dalam ”kehidupan”. Dilthey beranggapan bahwa ekspresi hidup sebenarnya merupakan ”obyektifikasi kehidupan” yang dari sana dapat memiliki pengetahuan ”obyektif”, seraya ia mengkritik metode-metode ilmu alam, dilthey juga berkeinginan untuk memperoleh ideal pengetahuan obyektif dalam studi-studi sejarah. Studi-studi sejarah dapat juga disebut dengan ”sains”, yang berbeda dengan,”ilmu-ilmu kemanusiaan” (Geisteswissenschaften). Gadamer melihat Dilthey terlibat dalam ideal obyektivitas yang diasosiasikan oleh mazhab historis yang berlawanan dengan apa yang dikategorikan Dilthey dengan kritisisme. Pengetahuan obyektif, pengetahuan ”valid” mensugestikan suatu titik pandang di atas sejarah di mana sejarah itu sendiri dapat dilihat –suatu titik pandang tertentu yang tidak berlaku bagi manusia.
Manusia yang menyejarah selalu melihat dan memahami dari sudut pandangnya dalam ruang dan waktu; Gadamer mengatakan manusia tidak dapat berdiri di atas relativitas sejarah dan memperoleh pengetahuan validnya. Dilthey secara tidak sadar meminjam konsep metode induktif dari sains, namun sebagaimana yang ditelaah Gadamer,”Pengalaman historis bukanlah sebuah prosedur (Verfahren) dan tidak memiliki anonimitasnya dengan sebuah metode... (ia memiliki) suatu bentuk obyektivitas yang sangat berbeda dan ia terjadi dalam suatu cara yang berbeda”.
Dalam wilayah kritik historis ada beberapa yang menjadi acuan Gadamer dalam menganalisis temporalitas Dasein.
Pertama, Prasangka dan Tradisi. Prasangka telah dianaktirikan ilmu pengetahuan modern sebagai anak kandung pencerahan. Prasangka menurut Gadamer berpotensi mengandung sisi positif sekaligus negatif dan mesti rehabilitasi. Prasangka direhabilitasi demi memosisikan keterbatasan manusia sebagai makhluk historis sebagaimana mestinya. Tentunya dijawab, rehabilitasi ini menjawab persoalan bagaimana membedakan prasangka yang legitimet dengan yang tidak. (Inyiak Ridwan Muzir, 2008;131).
Gagasan membebaskan pemahaman dan interpretasi dari prasangkan gagasan yang telah berlaku pada suatu masa sangat umum bagi manusia. Pengetahuan historis hanya dapat dipenuhi  melalui pembebasan dari gagasan-gagasan personal dan nilai-nilai yang ada pada suatu subyek dan secara sempurna bersifat ”membuka wawasan ” (open maind) terhadap gagasan dan nilai-nilai masa lalu. Eksplorasi Dilthey tentang pandangan dunia (Weltanschauuungen) disifati atas sebuah relativisme historis yang bersifat terbuka yang menegaskan bahwa masa historis seseorang tidak harus dinilai dalm term orang lain. Misalnya, sarjana sastra yang mengharapkan manusia dapat bersifat terbuka terhadap teologi Paradise Lost. Karena setiap individu tidak mempunyai hak untuk menilai suatu karya sastra dengan ”standar-standar” masa kini. Kita membaca Paradise Lost sebagai sebuah ”karya sastra” karena kebebasan gayanya, kemuliaan konsepsinya, kekuatan imajinatifnya, --bukan karena kebenaran. Contoh seperti ini, akan memisahkan keindahan dari kebenaran.  (Richard E Palmer, 2005:214)
Di balik prasangka yang terbuka ini adalah ketidakinginan untuk menanggung penilaian manusia; masa lalu tetap berlawanan dengan manusia sebagai sesuatu yang hampir-hampir tidak relevan, suatu obyek keinginan untuk berhubungan dengan hal yang kuno. Posisi kaum estetis terletak pada pemisahan bentuk-isi yang tidak bisa diabaikan dalam estetika yang tersubyektivasi, seperti yang telah diperlihatkan bahwa kebenaran dan keindahan tidak dapat dipisahkan dalam pengalaman sebuah karya seni. Mengikuti pemahaman historis bahwa para Antiquarian dan peminat filologi tentang masa lalu sebagai masa lalu tidak lagi memiliki pemahaman tentang sejarah yang lebih menggema daripada kaum estetis. (Ibid.).
Masa sekarang juga tidak dapat ditanggalkan begitu saja untuk masuk pada masa lalu; ”makna” dari sebuah karya masa lalu tidak dapat dilihat secara menyendiri dalam term dirinya sendiri. Sebaliknya, ”makna” karya masa lalu didefinisikan dalam term pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari masa sekarang. Antiquarianisme merupakan suatu penolakan terhadap historisitas sebenarnya, historisitas keseluruhan pemahaman masa lalu di mana manusia berada pada masa sekarang. Prasangka bukan merupakan sesuatu yang harus atau dapat disalurkan dengannya; prasangka merupakan basis keberadaan manusia yang membuat manusia mampu memahami sejarah secara keseluruhan. (Richard E Palmer, 2005:214)
Kedua, Konsep Distansi Temporal, bagi Gadamer ketegangan antara masa kini dan masa lalu dengan sendirinya, bahkan dalam beberapa kemanfaatan cara, merupakan faktor penting dalam hermeneutika: ”Suatu posisi antara hal yang asing dan familiar berada di antara tujuan yang berlaku secara historis, merenggangkan obyektivitas warisan budaya dan rasa kepemilikan manusia akan sebuah tradisi”. Dalam hal, ”keberantaraan” inilah posisinya sebenarnya hermeneutika. Dengan begitu, mediasi hermeneutika melibatkan baik  mana yang secara historis dimaksudkan maupun yang secara historis merupakan tradisi, namun ini tidaklah bermakna bahwa tugas hermeneutika adalah untuk mengembangkan suatu prosedur metodis pemahaman, melainkan untuk mengklarifikasi persyaratan-persyaratan di mana pemahaman dapat terjadi.
Secara logis sebuah karya seni yang diciptakan dewasa ini seharusnya memiliki makna paling berharga bagi manusia, sifat aktualitasnya, meskipun manusia mengetahui dari pengalaman yang dihadapinya bahwa hanya waktulah yang akan menentukan signifikansinya dari hal-hal yang tidak signifikan. Gadamer menyatakan, hal ini disebabkan karena distansi temporal telah membunuh minat personal manusia terhadap subyek, namun karena fungsi waktu yang yang mengeliminasi apa yang bersifat esensial, yang memungkinkan, makna sebenarnya yang tersembunyi dalam sesuatu menjadi jelas. Dengan demikian, distansi temporal memiliki fungsi negatif dan positif: ”ia (distansi temporal) tidak hanya memungkinkan prasangka tertentu yang menjadi khas bagi hakikat subyek menjadi mati namun juga menyebabkan prasangka-prasangka tersebut yang mengarah pada pemahaman sebenarnya lebih berfungsi”. (Richard E Palmer, 2005:214)
Ketiga, Memahami Pengarang Teks, secara prinsip tugas hermeneutika adalah memahami teks, bukan pengarangnya. Baik konsep distansi temporal maupun penekanan pada makna dalam pemahaman historis seharusnya menciptakan bukti-diri ini. Teks dipahami bukan karena suatu hubungan antara pribadi-pribadi dilibatkan tetapi dikarenakan partisipasi yang terjadi dalam pokok pembahasan di mana teks dapat berkomunikasi. Juga, partisipasi ini menekankan kenyataan bahwa seseorang tidak harus lebih jauh keluar dari dunianya sendiri membiarkan teks mengarahkan dirinya dalam dunia kekiniannya; ia harus membiarkan teks tersebut hadir bagi dirinya, bersifat kontemporer (gleichzeitig). Pemahaman bukanlah suatu proses subyektif  seperti suatu pesoalan penempatan diri seseorang di dalam suatu tradisi atau di dalam suatu ”peristiwa” yang mentransmisi tradisi tersebut kepada dirinya. Pemahaman merupakan suatu partisipasi di dalam arus tradisi, di dalam suatu momen yang menggabungkan masa lalu dan masa sekarang. Konsepsi pemahaman inilah yang harus diterima ujar Gadamer.
Keempat, Rekonstruksi Masa Lalu, konsekuensi lain dari historisitas intrinsik yang terlibat dalam pemahaman teks-teks kuno apa pun adalah bahwa seseorang harus mempertimbangkan kembali posisi hermeneutis yang merekonstruksi dunia karya seni yang merupakan tugas utama pemahaman. Rekonstruksi dunia di mana sebuah karya telah hadir dan rekontruksi orisinalitas karya seni sangatlah penting bagi pemahaman, bahkan Gadamer justru lebih mempertegas lagi bahwa rekonstruksi ini sebagai aktualisasi basis atau final di dalam hermeneutika, atau bahkan sebagai kunci ke arah pemahaman.
Kelima, Signifikansi Aplikasi, dalam analisis Gadamer mengenai pemahaman, ia berpendapat ”sesuatu seperti aplikasi teks yang harus dipahami dalam situasi kekinian selalu mengambil tempat. Dalam makna mengetahui dan menjelaskan, memahami sudah mencakup di dalamnya sesuatu seperti aplikasi atau relasi teks terhadap suasana kekinian. Hermeneutika teologis dan juridis menggiring aspek keseluruhan pemahaman ini untuk diperhatikan sepenuhnya, dan dengan  begitu hermenutika tersebut membentuk suatu pola yang lebih baik untuk mendapatkan kelayakan operasional pemahaman dalam sejarah dan sastra dibandingkan dengan tradisi filologi, yang secara artifisial mengabaikan faktor aplikasi. Gadamer mengatakan,
Pada realitasnya, hermeneutika yuridis bukanlah ”hal yang spesial”  namun ia disesuaikan dengan tugas memberikan acuan kepada hermenutika historis akan luas problematikanya. Ia dapat merekontruksi kesatuan kuno problem hermeneutis yang dijumpai secara umum (pada abad ke 18) oleh para ahli hukum, teologi dan filologi”.
 Setelah mengkritisi wilayah historis dalam temporalitas dasein yang menjadi acuannya, gadamer juga menilai kesadaran historis otentik. Tema yang digunakan gadamer yaitu wirkungsgeschichtliche Bewusstein, (Richard E Palmer, 2005:226). Terjemahannya berbunyi, ”kesadaran di mana sejarah berlaku”, atau” Kesadaran operatif historis”. Gadamer menjelaskan bahwa kesadaran historis otentik bukanlah kesadaran historis Hegelian yang menempatkan kesadaran dalam atmosfir refleksitas dan menjadikannya sebagai mediasi sejarah dan masa kekinian. Kesadaran historis otentik ini merupakan suatru kesadaran spekulatif dan dialektis, namun makna dialektis bukanlah mediasi-diri terhadap nalar tetapi merupakan struktur pengalaman itu sendiri. (Richard E Palmer, 2005:226).
            Kesadaran historis otentik tidak melihat masa kini sebagai puncak kebenaran; ia membiarkan dirinya terbuka bagi klaim di mana kebenaran dalam karya dapat mengarah kepadanya. ”Kesadaran hermeneutis mendapatkan pemenuhan dan kepuasannya tidak dalam kebertentuan-diri yang metodis tetapi dalam kesiapan eksperensial dan keterbukaan di mana seseorang yang ”memiliki pengalaman” berlawanan dengan seseorang yang bersifat dogmatis. Inilah yang memberikan karakter kepada kesadaran operatif historis...”, Orang yang ”memiliki pengalaman” tidak lagi semata memiliki pengetahuan obyektif, namun lebih memiliki pengalaman yang tidak dapat di-obyektifkan yang telah mematangkannya dan menjadikannya terbuka terhadap tradisi dan masa lalu. (Richard E Palmer, 2005:226-227).

 DAFTAR PUSTAKA

Gadamer, Hans George, 1976, Philosophical Hermeneutics, University of California Press Los Angeles United States of America.
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Muzir, Inyiak Ridwan, 2006, Hermeneutika Filosofis: Hans Georg Gadamer, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
Palmer, Richard E, 2005 Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, penj Musnur      Hery, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Poesporodjo, 1987, Interpretasi, Penerbit Remaja Karya, Bandung.
Weinsheimer, Joel C, 1985 Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, Yale University Press, New Haven and London.

SUMBER LAIN :
Armas, Adnin, 2008, ”Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-              Qur’an” artikel dalam  www.hotlinkfiles.com/files/Hermeneutika
Hendar, 2006, “Debat Betti vs. Gadamer tentang pengertian dan tugas hermeneutika” artikel     dalam http://hendar2006.multiply.com/journal   
Saparie, Gunoto, 2007, ”Hermeneutika Alternatif Tafsir Sastra”, artikel dalam http://www.suarakarya-online.com/news
Sahiron Syamsuddin, 2006, ”Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir; Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Alquran pada Masa Kontemporer”, artikel dalam http://www.ditpertais.net/Makalah_Syahiron